oleh Fajar Burnama
1. TASAWUF
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
ASAL KATA SUFI
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata 1:
1.Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2.Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4.Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Berisi pengertian tasawuf yang terdiri dari beberapa pendapat. Sebagian barkata, “Para Sufi dinamakan Sufi karena kesucian (Safa) hati mereka dan keberhasilan tindakan mereka (athar).” Bishr bin Al-Harits :”Sufi adalah orang yang sikapnya tulus kepada Allah dan yang mendapat berkata tulus dari Allah.” Tersingkapnya rahasia ketuhanan sepenuhnya tergantung pada kesucian batin. Sebagaimana sabda Nabi saw, :
الا ان فى جسدبني آدم مضغةإذا صلح الجسدفصلح الجسدكله وإذافسدت فسدالجسدكله،ألاهي القلب (رواه البخري )
“Ingatlah, dalam diri manusia terdapat segumpal daging, bila benda itu dipelihara secara menyeluruh, maka tubuh secara keseluruhan akan tetap sehat, dan kalau daging itu membusuk, maka tubuh itu secara keseluruhan membusuk, daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari)
Tetapi kata Sufi berasal dari Safa, bentuk yang tepat adalah Safawi bukan Sufi.
Ada juga yang berpendapat Sufi berasal dari Saff karena mereka berada di baris pertama (Saff) di depan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Dan tetapnya kerahasiaan mereka di hadapan-Nya.Tetapi bila dari kata Saff, seharusnya Saffi bukan Sufi.
Ada juga yang mengatakan berasal dari sifat-sifat mereka yang menyerupai orang Bangku (Ashab al-Suffa) yang hidup di masa Nabi. Mereka hanya mengambil kebutuhan hidup secukupnya, sekadar menutupi ketelanjangan dan menenangkan perut mereka yang lapar. “Salah satu dari mereka ditanya, ‘Siapakah Sufi itu?’ Ia menjawab, ‘Sufi adalah dia yang tidak memiliki atau dimiliki.’.” Maksudnya ia bukan budak dari keinginan. Ada juga yang berkata, “Sufi adalah dia yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau ia memiliki sesuatu, ia menggunakannya.”
Tetapi bila berasal dari Suffah, bentuk yang benar haruslah Suffi bukan Sufi.
Terakhir adalah anggapan bahwa karena mereka biasa memakai Suf, yaitu kain wol. Karena mereka tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dilihat, untuk menyenangkan jiwa. Dan pendapat ini tepat atau dapat diterima menurut sudut pandang etimologis. Menurut kamus Bahasa Arab kata Tasawwufa berarti “Dia memakai baju dari wol”.
Abu Bakar al-Kalabadhi berpendapat bahwa kata Sufi memiliki semua arti penting seperti penarikan diri dari dunia, menjauhkan jiwa dari keduniawian, meninggalkan semua tempat tinggal yang telah mapan, secara tetap terus mengadakan perjalanan, mengingkari kesenangan jasmani bagi jiwanya, mensucikan tingkah laku, membersihkan batin, melapangkan dada, dan mutu kepemimpinan. Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
ASAL-USUL TASAWUF
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Sebagian kaum muslimun ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya2. Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya.3
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
Esensi Tasawuf
Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
Awal munculnya tasawuf / sufi
Pada jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam tidak mengenal aliran tasawwuf, juga pada masa shahabat dan tabi’in (yaitu generasi setelah shahabat yang mereka itu menuntut ilmu dari para shahabat). Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. (Dari kitab Sufiyyah fi mizanil kitab wa sunnah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Adapun hanya sekedar pengakuan tanpa adanya dalil yang menerangkan ataupun dari berita-berita dusta yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya ra. adalah juga golongan tasawwuf maka cara berhujjah seperti ini tidaklah dapat diterima oleh orang yang berakal.4
Kendati demikian, berikut ini runtutan perkembangan tasawuf :
1.Masa Sahabat
Para sahabat mencontohi hidup Rasulullah saw, yang serba hidup sederhana, sehingga tergolong Sufi di abad pertama, dan mengajarkannya kepada pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik pada kehidupan Sufi. Di antara sahabat-sahabat tersebut adalah :
Abu Bakar ash-Shidiq
Umar bin Khattab
Usman bin Affan
Ali bin Abi Thalib
Salman al-Farisy
Abu Zar al-Ghifary
Ammar bin Yasir
Huzaidah bin al-Yaman
Niqdad bin Aswad
2.Masa Tabi’in
Ulama Sufi di masa Tabi’in adalah murid dari ulama Sufi di masa sahabat. Tokoh-tokohnya antara lain :
Hasan al-Bashry
Rabi’ah al-Adawiyah
Sufyan bin Said ats-Tsaury
Daud ath-Thaiy
Syaqieq al-Balkhiy
Pada abad pertama hijriyah, ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak jauh dari kota Madinah, seperti kota Mekah, Kuffah, Basrah dan kota-kota kecil lainnya. Pada abad kedua, barulah ulama-ulama tersebut menyebar ke berbagai negara kekuasaan islam. Pada abad awal ini, tasawuf masih murni, belum dipengaruhi oleh ajaran, tradisi atau keyakinan lain selain islam.
3.Abad ketiga Hijriyah
Tasawuf berkembang pesat, buktinya ada segolongan ahli tasawuf yang menyelidiki inti dari tasawuf, sehingga mereka membaginya menjadi tiga bagian :
Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa
Tasawuf yang berintikan ilmu akhlaq
Tasawuf yang berintikan metafisika
4.Abad keempat Hijriyah
Para ulama tasawuf melakukan usaha yang lebih maksimal untuk mengembangkan ajaran tasawufnya, sehingga kota Baghdad yang menjadi pusat perkembangan ilmu tasawuf tersaingi oleh kota-kota lain. Unsur filsafat semakin kuat mempengaruhi tasawuf. Dan pada abad ini dijelaskan perbedaan antara ilmu zhahir dan bathin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu :
Ilmu Syariah
Ilmu Thariqah
Ilmu Haqiqah
Ilmu Ma’rifah
5.Abad kelima Hijriyah
Pada abad ini, di samping terdapat pertentangan yang lebih nyata antara ulama fiqh dengan ulama tasawuf, situasi semakin rawan ketika berkembangnya mazhab Syi’ah Islmailiyah; yaitu suatu mazhab yang hendak mengembalikan kekuasaan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib
Di lain pihak, filsafat Neo-Platonisme, Filsafat Persia, dan India sudah banyak mempengaruhi tasawuf, sehingga muncullah Tasawuf Falsafi, yang bertentangan dengan masa sahabat dan tabi’in. Maka, pada abad kelima ini muncullah tiga golongan fuqaha, Ahli Tasawuf, Ahli Tasawuf Teologi, Ahli Tasawuf Sunni.
Muncullah seorang pemikir, Imam al-Ghazali, yang memusatkan perhatiannyauntuk meredakan perselisihan dan pertentangan umat. Beliau memandang bahwa para ulama telah keliru karena mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan teori filsafat. Beliau pun mengarang kitab yang menentang dan meluruskan kekeliruan tersebut, yaitu :
al-Munqiz Minad Dhalal (Pelepasan Diri dari Kesesatan)
Tahafutul Falasifah (Kacau Balaunya Filsafat)
a.Mahabbah
Mahabbah artinya cinta. Maksudnya adalah cinta kepada Allah. Secara lebih luas, cinta berarti :
Memeluk dan mematuhi perintah Allah dan membenci sikap yang melawan Allah
Berserah diri pada Allah
Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galnya kecuali Dzat Yang Dikasihi
Alla berfirman :
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran ayat 31)
Mahabbah dalam tasawuf menekankan pada perasaan cinta kepada Allah. Tokohnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabiah al-Adawiyah.
b.Ma’rifah
Pengertian
Berasal dari kata al-Ma’rifah, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka ma’rifah berarti mengenal Allah. “Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnannya.”5
Jalan
1. sir السر
2. Menurut Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :
a) al-Qalb, fungsinya untuk mengetahui sifat Allah
b) Ruh, fungsinya untuk dapat mencintai Allah
c) Sir, fungsinya untuk melihat Allah
Tokoh, Al Ghazali, menurut beliau ma’rifah dan mahabbah adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal.
c.Fana dan Baqa
Fana artinya hilang, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Allah.
Baqa artinya tetap, terus hidup. Maka, baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah.
Tokoh yang dipandang sebagi tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid al- Bustamilah, dia wafat pada tahun 874 M.
d.Ittihad dan Hulul
Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Allah. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: “Hai aku”
Abu Nasr Al-Tusi di dalam bukunya “Al-Luma”, mengatakan Hulul ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.
Tokoh, Abu Yazid al-Bustami.
e.Wahdad al-Wujud dan Insan Kamil
Berarti kesatuan wujud. Faham ini merubah sifat nasuf yang ada dalam Hulul menjadi Khalaq, dan sifat Lahut menjadi Haq. Keduanya menjadi suatu aspek khalaq sebagai aspek di sebelah luar dan haq sebagai aspek sebelum dalam
Tokoh, Muhy al-Qin Ibnu Arabi, Ibnu al-Farid/
f.Thariqat
Berasal dari kata at-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syariat, yang disebut Al-Jara atau Al-Amal.
Takoh-Tokohnya :
Syekh Abdul Qadir Jainali
Syekh Ahmad Rifa’i
Syekh Maulana Jalaludin ar-Rumi
Syekh Abul Hasan Ali bin Abdil Jabbar Asy-Syazali
Syekh Ahmad al-Badawi
Syekh Umar as-Suhrawadi
Asy-Syhalah Baharuddin Muhammad bin Hasan an-Naqsyabandi
Syekh Abdullah asy-Syattari
Syekh Abdul Barakat Ayyub bin Muhammad al-Khawalti al-Qursisyi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya
Harun Nasution, Artikel Tasawuf. Penerbit Yayasan Paramadina
Perpustakaan-Islam.Com, Hakekat Tasawuf, diakses tanggal 22 Desember 2008
Valiudin, Mir. Tasawuf dalam Qur’an. Pustaka Firdaus. 2002 cet. 2.
Mustofa. A. AKhlak Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung. 2008. Cet.5
1. TASAWUF
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
ASAL KATA SUFI
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata 1:
1.Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2.Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4.Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.
5.Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Berisi pengertian tasawuf yang terdiri dari beberapa pendapat. Sebagian barkata, “Para Sufi dinamakan Sufi karena kesucian (Safa) hati mereka dan keberhasilan tindakan mereka (athar).” Bishr bin Al-Harits :”Sufi adalah orang yang sikapnya tulus kepada Allah dan yang mendapat berkata tulus dari Allah.” Tersingkapnya rahasia ketuhanan sepenuhnya tergantung pada kesucian batin. Sebagaimana sabda Nabi saw, :
الا ان فى جسدبني آدم مضغةإذا صلح الجسدفصلح الجسدكله وإذافسدت فسدالجسدكله،ألاهي القلب (رواه البخري )
“Ingatlah, dalam diri manusia terdapat segumpal daging, bila benda itu dipelihara secara menyeluruh, maka tubuh secara keseluruhan akan tetap sehat, dan kalau daging itu membusuk, maka tubuh itu secara keseluruhan membusuk, daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari)
Tetapi kata Sufi berasal dari Safa, bentuk yang tepat adalah Safawi bukan Sufi.
Ada juga yang berpendapat Sufi berasal dari Saff karena mereka berada di baris pertama (Saff) di depan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Dan tetapnya kerahasiaan mereka di hadapan-Nya.Tetapi bila dari kata Saff, seharusnya Saffi bukan Sufi.
Ada juga yang mengatakan berasal dari sifat-sifat mereka yang menyerupai orang Bangku (Ashab al-Suffa) yang hidup di masa Nabi. Mereka hanya mengambil kebutuhan hidup secukupnya, sekadar menutupi ketelanjangan dan menenangkan perut mereka yang lapar. “Salah satu dari mereka ditanya, ‘Siapakah Sufi itu?’ Ia menjawab, ‘Sufi adalah dia yang tidak memiliki atau dimiliki.’.” Maksudnya ia bukan budak dari keinginan. Ada juga yang berkata, “Sufi adalah dia yang tidak memiliki apa-apa, atau kalau ia memiliki sesuatu, ia menggunakannya.”
Tetapi bila berasal dari Suffah, bentuk yang benar haruslah Suffi bukan Sufi.
Terakhir adalah anggapan bahwa karena mereka biasa memakai Suf, yaitu kain wol. Karena mereka tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dilihat, untuk menyenangkan jiwa. Dan pendapat ini tepat atau dapat diterima menurut sudut pandang etimologis. Menurut kamus Bahasa Arab kata Tasawwufa berarti “Dia memakai baju dari wol”.
Abu Bakar al-Kalabadhi berpendapat bahwa kata Sufi memiliki semua arti penting seperti penarikan diri dari dunia, menjauhkan jiwa dari keduniawian, meninggalkan semua tempat tinggal yang telah mapan, secara tetap terus mengadakan perjalanan, mengingkari kesenangan jasmani bagi jiwanya, mensucikan tingkah laku, membersihkan batin, melapangkan dada, dan mutu kepemimpinan. Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
ASAL-USUL TASAWUF
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Sebagian kaum muslimun ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan,
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya2. Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya.3
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
Esensi Tasawuf
Jalan Pendekatan Diri Kepada Tuhan
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.
Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.
Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.
Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.
Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.
Awal munculnya tasawuf / sufi
Pada jaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Islam tidak mengenal aliran tasawwuf, juga pada masa shahabat dan tabi’in (yaitu generasi setelah shahabat yang mereka itu menuntut ilmu dari para shahabat). Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), maka karena pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. (Dari kitab Sufiyyah fi mizanil kitab wa sunnah, karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu).
Adapun hanya sekedar pengakuan tanpa adanya dalil yang menerangkan ataupun dari berita-berita dusta yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW dan para sahabatnya ra. adalah juga golongan tasawwuf maka cara berhujjah seperti ini tidaklah dapat diterima oleh orang yang berakal.4
Kendati demikian, berikut ini runtutan perkembangan tasawuf :
1.Masa Sahabat
Para sahabat mencontohi hidup Rasulullah saw, yang serba hidup sederhana, sehingga tergolong Sufi di abad pertama, dan mengajarkannya kepada pendatang dari luar kota Madinah, yang tertarik pada kehidupan Sufi. Di antara sahabat-sahabat tersebut adalah :
Abu Bakar ash-Shidiq
Umar bin Khattab
Usman bin Affan
Ali bin Abi Thalib
Salman al-Farisy
Abu Zar al-Ghifary
Ammar bin Yasir
Huzaidah bin al-Yaman
Niqdad bin Aswad
2.Masa Tabi’in
Ulama Sufi di masa Tabi’in adalah murid dari ulama Sufi di masa sahabat. Tokoh-tokohnya antara lain :
Hasan al-Bashry
Rabi’ah al-Adawiyah
Sufyan bin Said ats-Tsaury
Daud ath-Thaiy
Syaqieq al-Balkhiy
Pada abad pertama hijriyah, ulama-ulama tasawuf hanya berada di beberapa kota yang tidak jauh dari kota Madinah, seperti kota Mekah, Kuffah, Basrah dan kota-kota kecil lainnya. Pada abad kedua, barulah ulama-ulama tersebut menyebar ke berbagai negara kekuasaan islam. Pada abad awal ini, tasawuf masih murni, belum dipengaruhi oleh ajaran, tradisi atau keyakinan lain selain islam.
3.Abad ketiga Hijriyah
Tasawuf berkembang pesat, buktinya ada segolongan ahli tasawuf yang menyelidiki inti dari tasawuf, sehingga mereka membaginya menjadi tiga bagian :
Tasawuf yang berintikan ilmu jiwa
Tasawuf yang berintikan ilmu akhlaq
Tasawuf yang berintikan metafisika
4.Abad keempat Hijriyah
Para ulama tasawuf melakukan usaha yang lebih maksimal untuk mengembangkan ajaran tasawufnya, sehingga kota Baghdad yang menjadi pusat perkembangan ilmu tasawuf tersaingi oleh kota-kota lain. Unsur filsafat semakin kuat mempengaruhi tasawuf. Dan pada abad ini dijelaskan perbedaan antara ilmu zhahir dan bathin, yang dapat dibagi oleh ahli tasawuf menjadi empat macam, yaitu :
Ilmu Syariah
Ilmu Thariqah
Ilmu Haqiqah
Ilmu Ma’rifah
5.Abad kelima Hijriyah
Pada abad ini, di samping terdapat pertentangan yang lebih nyata antara ulama fiqh dengan ulama tasawuf, situasi semakin rawan ketika berkembangnya mazhab Syi’ah Islmailiyah; yaitu suatu mazhab yang hendak mengembalikan kekuasaan kepada keturunan Ali bin Abi Thalib
Di lain pihak, filsafat Neo-Platonisme, Filsafat Persia, dan India sudah banyak mempengaruhi tasawuf, sehingga muncullah Tasawuf Falsafi, yang bertentangan dengan masa sahabat dan tabi’in. Maka, pada abad kelima ini muncullah tiga golongan fuqaha, Ahli Tasawuf, Ahli Tasawuf Teologi, Ahli Tasawuf Sunni.
Muncullah seorang pemikir, Imam al-Ghazali, yang memusatkan perhatiannyauntuk meredakan perselisihan dan pertentangan umat. Beliau memandang bahwa para ulama telah keliru karena mempelajari ilmu-ilmu agama dengan menggunakan teori filsafat. Beliau pun mengarang kitab yang menentang dan meluruskan kekeliruan tersebut, yaitu :
al-Munqiz Minad Dhalal (Pelepasan Diri dari Kesesatan)
Tahafutul Falasifah (Kacau Balaunya Filsafat)
a.Mahabbah
Mahabbah artinya cinta. Maksudnya adalah cinta kepada Allah. Secara lebih luas, cinta berarti :
Memeluk dan mematuhi perintah Allah dan membenci sikap yang melawan Allah
Berserah diri pada Allah
Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galnya kecuali Dzat Yang Dikasihi
Alla berfirman :
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran ayat 31)
Mahabbah dalam tasawuf menekankan pada perasaan cinta kepada Allah. Tokohnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabiah al-Adawiyah.
b.Ma’rifah
Pengertian
Berasal dari kata al-Ma’rifah, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka ma’rifah berarti mengenal Allah. “Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnannya.”5
Jalan
1. sir السر
2. Menurut Al-Qusyairi ada tiga, yaitu :
a) al-Qalb, fungsinya untuk mengetahui sifat Allah
b) Ruh, fungsinya untuk dapat mencintai Allah
c) Sir, fungsinya untuk melihat Allah
Tokoh, Al Ghazali, menurut beliau ma’rifah dan mahabbah adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan ma’rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal.
c.Fana dan Baqa
Fana artinya hilang, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan proses menghancurkan diri bagi seorang sufi agar dapat bersatu dengan Allah.
Baqa artinya tetap, terus hidup. Maka, baqa adalah sifat yang mengiringi dari proses fana dalam penghancuran diri untuk mencapai ma’rifah.
Tokoh yang dipandang sebagi tokoh sufi pertama yang memunculkan persoalan fana dan baqa adalah Abu Yazid al- Bustamilah, dia wafat pada tahun 874 M.
d.Ittihad dan Hulul
Ittihad artinya bahwa tingkatan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Allah. Ittihad merupakan suatu tingkatan di mana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Kemudian salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan perkataan: “Hai aku”
Abu Nasr Al-Tusi di dalam bukunya “Al-Luma”, mengatakan Hulul ialah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan.
Tokoh, Abu Yazid al-Bustami.
e.Wahdad al-Wujud dan Insan Kamil
Berarti kesatuan wujud. Faham ini merubah sifat nasuf yang ada dalam Hulul menjadi Khalaq, dan sifat Lahut menjadi Haq. Keduanya menjadi suatu aspek khalaq sebagai aspek di sebelah luar dan haq sebagai aspek sebelum dalam
Tokoh, Muhy al-Qin Ibnu Arabi, Ibnu al-Farid/
f.Thariqat
Berasal dari kata at-Tariq (jalan) menuju kepada hakikat, atau dengan kata lain pengalaman syariat, yang disebut Al-Jara atau Al-Amal.
Takoh-Tokohnya :
Syekh Abdul Qadir Jainali
Syekh Ahmad Rifa’i
Syekh Maulana Jalaludin ar-Rumi
Syekh Abul Hasan Ali bin Abdil Jabbar Asy-Syazali
Syekh Ahmad al-Badawi
Syekh Umar as-Suhrawadi
Asy-Syhalah Baharuddin Muhammad bin Hasan an-Naqsyabandi
Syekh Abdullah asy-Syattari
Syekh Abdul Barakat Ayyub bin Muhammad al-Khawalti al-Qursisyi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya
Harun Nasution, Artikel Tasawuf. Penerbit Yayasan Paramadina
Perpustakaan-Islam.Com, Hakekat Tasawuf, diakses tanggal 22 Desember 2008
Valiudin, Mir. Tasawuf dalam Qur’an. Pustaka Firdaus. 2002 cet. 2.
Mustofa. A. AKhlak Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung. 2008. Cet.5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar