oleh Fajar Burnama
1. PENDAHULUAN
Sunnah atau hadits secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, juga berarti qorib artinya dekat, jadid artinya baru, dan khobar artinya berita atau warta 1). Secara terminologi, hadits bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu :
1. Menurut Ilmu Hadits, yaitu semua yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapannya sebagaimana manusia biasa termasuk akhlaqnya baik sebelum ataupun sesudah menjadi rasul.
2.Menurut Ilmu Ushul Fiqh, yaitu :
مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْأَنِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ.
”Semua yang berasal dari nabi saw, selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan.”
Jelasnya setiap perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi saw, yang berkaitan dengan hukum.
3.Menurut Ilmu Fiqih, yaitu selain memiliki arti seperti ilmu ushul fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum yang mengandung pengertian :
”Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa”
Dari definisi-definisi di atas, maka hadits dapat dibedakan menjadi Qauliyah, Fi’liyah, dan Taqrirriyah.
Hadits Qauliyah (perkataan nabi), yang sering dinamakan juga khabar berupa perkataan Nabi saw, seperti :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ (الحديث)
”Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah.” (Al-Hadits)
1) Buku Ushul Fiqih, Drs. Chaerul Uman dkk, halaman 59
Hadits Fi’liyah (Perbuatan nabi), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw, seperti :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللـهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَلْبَسُ قَمِيْصًا فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ (رواه الحاكم)
”Adalah Nabi saw memakai bajunya di atas dua mata kaki.” (H.R. Hakim)
Hadits Taqririyah (Ketetapan nabi), yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw, seperti :
Kasus Amr bin Ash yang berada dalam keadaan junub pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi karena khawatir akan sakit. Amr bin Ash ketika itu hanya bertayamum, lalu hal ini disampaikan kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, ”Engkau melaksanakan shalat bersama-sama teman engkau, sedangkan engkau dalam keadaan junub?” Amr bin Ash menjawab, ”Saya ingat firman Allah Ta’ala yang mengatakan, ” Jangan kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”, lalu saya bertayamum dan langsung shalat.” Mendengar jawaban Amr ibn Al-Ash ini Rasulullah saw. Tertawa dan tidak berkomentar apapun (HR. Ahmad ibn Hanbal dan Al-Baihaqi).
Tidak berkomentarnya Rasulullah SAW, dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamun bagi orang yang junub dalam keadaan hari yang sangat dingin, sekalipun ada air untuk mandi.
Sunnah atau Hadits adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an dan hal ini mayoritas pendapat jumhur ulama. Oleh karena itu wajib bagi umat islam menerima dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya selama sunnah atau hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang dipandang sah oleh golongan ahli sunnah dan hanya mengakui sahnya suatu hadits kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli-ahli hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir2) mereka masih dapat menerimanya selama hadits itu sah menuruti kriteria ilmu hadits. 3)
2) Yaitu yang memahami dalil secara tekstual saja
3) Buku Ushul Fiqih, Drs. Chaerul Uman dkk, halaman 64
Sunnah dijadikan hujjah4) berdasarkan beberapa ayat Alquran :
QS. Al Hasyr 59; 7 :
..... وَ مَا أَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَ اتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
(الحشر ٧)
Artinya : “…….apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras Hukuman-Nya.”
QS. An Nisa 4; 59 :
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ أُولِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
(النساء ٥٩)
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
QS. An Nisa 4; 80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا (النساء ٨٠)
Artinya : ” Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
“Sesungguhnya aku mendirikan sholat, aku berpuasa dan berbuka, serta aku juga menikah. Siapa yang tidak menyukai sunahku maka bukanlah itu termasuk umatku.” (Al-Hadits)
”Bukan termasuk umatku, orang yang menentang kami (menolak sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.)”
(Al-Hadits)
4) berarti keterangan atau dalil yang dijadikan sebagai bukti
2. PEMBAHASAN
Manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, hal ini sunatullah. Alam pun berkembang, menjadi fenomena yang harus dihadapi manusia. Tidak diperlukan dalil penguatnya bahwa setiap manusia dari suatu generasi memiliki keperluan yang berbeda dengan generasi yang lain. Kita bersyukur bahwa kini kita berada pada masa dimana masyarakat islam cukup menyadari akan pentingnya kembali kepada sumber pokok al-islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits, namun masih perlu meningkatkan pemahaman kita serta pengamalannya sesuai yang ditentukan oleh kedua sumber tersebut menurut kadar kemampuan kita berdasar pada kenyataan-kenyataan atau fenomena yang didapat pada masanya. Untuk dapat dipahami dan diamalkan bahwa Dienul Islam adalah Rahmatan Lil ’Alamin.
Pemikiran manusia berkembang menuju kesempurnaan, perkembangan ini takkan pernah berhenti karena kesempurnaan manusia tidak akan pernah tercapai karena manusia adalah makhluk yang lemah (An-Nisa 4; 28) sekalipun manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (At-Tien 95; 4) dan manusia adalah makhluk yang mulia (Al-Isra 17; 70). Dalam dunia pemikiran abad ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaknya menjadi rujukan dalam menghadapi segala permasalahan. Kedudukan Al-Hadits atau As-Sunnah sebagai sumber ajaran islam sudah jelas, mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an. Kiranya pengembangan pemikiran kita terhadap hadits ini tidak menjadikan kita terjebak ingkar sunah5). Memang hadits telah banyak dibahas dalam kitab-kitab, tetapi juga menjadi problem kita, belum ada kesepakatan kita dalam pemahaman dan penggunaannya.
Hadits diyakini sebagai sumber al-islam yang berasal dari wahyu Allah yang Ghairu Mathluw6), yang maknanya dari Allah sedangkan lafadznya dari Nabi saw. Hal ini menyebabkan hadits yang memiliki pengertian perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw memerlukan pernilaian yang mendalam. Pernilaian terhadap hadits diperlukan oleh karena hadits sampai kepada umat melalui jalan periwayatan yang panjang sepanjang perjalanan kehidupan umat islam. Disamping dalam perjalanan hadits yang disampaikan dari generasi ke generasi memungkinkan
5) yaitu Tidak menjadikan Hadits Nabi saw sebagai sumber hukum
6) yaitu wahyu Allah yang Tidak tertulis
adanya unsur sosial maupun budaya dari masyarakat dimana pembawa riwayat hadits hidup. Untuk itulah penelitian hadits harus jeli dari setiap unsurnya, seperti sanad (jalur periwayatan) dan matan (lafadz atau materi isi) dari hadits tersebut. Penelitian hadits dari dua unsur tersebut diharapkan mampu membuat rumusan-rumusan yang pasti mengenai kriteria tertentu sehingga dapat diketahui hadits shahih yang akan membedakan dengan hadits hasan, dan hadits dhaif.
Dalam hubungannya dalam metode pemahaman hadits, selama ini terdapat generalisasi pemahaman, artinya semua hadits dipahami secara sama baik itu shahih, hasan atau dhaif dan baru sebagian kecil umat mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, sebagian besar umat masih menggunakan pendekatan tekstual saja.
Maka yang perlu kita pikirkan bersama adalah bagaimana :
1.Untuk memperoleh suatu rumusan yang benar tentang kriteria hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah,
2.Untuk dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang sifat hubungan antara Al-Qur’an & As-Sunnah baik dari segi fungsi maupun makna,
3.Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang metode pemahaman hadits yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif baik tekstual maupun kontekstual,
4.Untuk memperoleh rumusan tentang sikap yang adil dalam mengambil berbagai sumber informasi mengenai sikap ulama yang berbeda-beda tentang hadits,
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam. Kelompok penolak hadits (inkar Sunnah) sudah mendapatkan bantahan yang sangat serius dari Jalaludin As Suyuti lewat sebuah karyanya yaitu ”Miftah Al Jannah fi Al Ihtijaj bi As Sunnah.” 7)
Dalam kitab-kitab ulumul hadits sudah dijelaskan bahwasanya suatu hadits dihukumi atau dinilai shahih apabila memenuhi 5, syarat :
1.Sanadnya muttasil, artinya tiap rawinya bertemu dengan marwi’anhunya.
2.Rawi-rawinya dari amal sampai akhir sanad terdiri dari orang-orang yang adil artinya jauh dari perbuatan maksiat.
7) Pengantar Seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits oleh Prof. Drs. Asymuni Abdur Rahman, Yogyakarta
3.Rawinya dari awal sampai akhir terdiri dari orang-orang yang dhabit, artinya mereka dalam keadaan sadar tatkala menerima hadits, faham terhadap hadits yang ia terima dan mampu memelihara keaslian hadits-hadits yang ia terima sejak menerimanya dari guru sampai menyampaikannya kepada murid.
4.Tidak syaz, artinya tidak berlawanan dengan dalil lain yang lebih kuat.
5.Tidak berillat atau tidak mempunyai cacat yang dapat menggugurkan keshahihannya.
Upaya penyeleksian terhadap keridibilitas sebuah hadits ini berangkat dari kenyataan dan keharusan sejarah dimana pada masa nabi ada beberapa sahabat yang menulis hadits-hadits nabi, yang diajarkan oleh nabi saw. Jadi hadits di masa nabi saw belum seluruhnya tertulis. Dan hadits yang dicatat oleh sebagian sahabat barulah merupakan sebagian dari seluruh hadits yang ada. Di samping itu, periwayatan sebuah hadits pada masa Nabi saw lebih banyak dalam bentuk lisan daripada tulisan, hal ini memberi pengertian bahwa kedudukan sanad (mata rantai periwayatan) memegang peranan yang sangat penting. Juga tidak bisa dipungkiri tentang adanya konflik politik di kalangan umat islam pada masa Khalifah Ali bin Abi Tholib yang telah memawa dampak negatif terhadap periwayatan hadits, yakni timbulnya hadits-hadits palsu. Untuk memisahkan antara hadits palsu dengan hadits asli, maka para ulama mengadakan penelitian terhadap pembawa berita-berita yang dikatakan hadits nabi.
Disamping itu kiranya inisiatif Khalifah Umar bin Khattab untuk mengkodifikasikan hadits secara formal tidak dibatalkan, tentu segala upaya pemalsuan hadits dapat dikendalikan sejak dini. Kodifikasi hadits baru dilakukan hampir satu abad sepeninggal nabi saw, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dan dengan dilakukan penyeleksian dan kritik terhadap suatu hadits bukan ditujukan untuk mengungkap kelemahan Nabi Muhammad saw, yang oleh Al-Qur’an dinyatakan ma’sum8), akan tetapi diarahkan pada telaah prosedur guna menetapkan suatu hadits.
Hubungan antara Al-Qur’an dengan hadits, antara lain :
Pertama, antara Al-Qur’an dengan hadits jelas terdapat pertalian hubungan yang erat, dan karenanya satu sama lain tak dapat dipisahkan kendatipun antara keduanya bisa dibedakan dari berbagai aspeknya.
8) Rasulullah saw dipelihara oleh Allah swt dari dosa dan kesalahan
Kedua, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.
Ketiga, kedudukan Al-Qur’an sebagai salah satu pengukur (instrumen) bagi kebenaran makna suatu hadits.
Keempat, Al-Qur’an dan Hadits sebagai warisan nabi yang harus dijadikan pedoman hidup agar tidak sesat untuk selama-lamanya.
Berikut sikap Imam al-Ghozali terhadap hadits :
1.Hadits menjadi sumber ajaran islam yang wajib diyakini oleh umat islam adalah hadits mutawatir. Ini berarti inkar padanya menyebebkan kekafiran, sedangkan inkar pada hadits ahad tidak menyebabkan kekafiran,
2.Hadits dapat menjadi penjelas dari Al-Qur’an secara mutlak baik yang mutawatir maupun yang ahad baik yang berisi masalah aqidah maupun di luar aqidah,
3.Metode pemahaman atas hadits tidak hanya tekstual, bahkan melampauinya sampai konteksnya.
Berikut sikap Imam IbnuTaimiyah terhadap hadits :
1.Hadits yang dapat dijadikan sebaai sumber ajaran islam adalah yang memenuhi syarat keshahihan baik itu mutawatir atau ahad, baik isinya memperkuat, menjelaskan, membatasi, maupun menambah isi Al-Qur’an,
2.Hadits shahih yang dapat menjadi sumber al-islam meliputi semua aspek, mulai dari masalah aqidah sampai masalah kenegaraan,
3.Metode pemahaman terhadap hadits yang shahih yang menjadi sumber ajaran islam tidak hanya tekstual, namun juga kontekstual yang menembus konteks waktu dan konteks tempat global secara kritis.
Kedua ulama di atas adalah ulama besar dan banyak pengikutnya, mereka berdua berpendapat bahwa kita harus menggunakan dan meyakini As-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua sebagai Al-Qur’an.
3. Kesimpulan
Dalam era globalisasi saat ini kita perlu selektif dalam menerima informasi-informasi terutama yang berhubungan dengan ajaran islam, betapa tidak saat ini sangat banyak pengkerdilan terhadap pemahaman umat islam tentang ajaran islam yang murni juga mengguritanya aliran-aliran sesat. Hadits sebagai sumber ajaran islam yang kedua harus kita laksanakan dengan sepenuh hati, dan yakinkan bahwa kita hanya diwajibkan untuk mengamalkan hadits yang benar-benar berasal dari nabi saw.
Hadits sebagai penjelas dari Al-Qur’an harus kita pelajari dengan seksama agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentangnya, sehingga segala amal yang kita lakukan senantiasa bernilai dan diterima oleh Allah swt. Semoga kita menjadi umat nabi Muhammad saw yang terbaik dan dicintainya serta kelak kita mendapatkan syafaat9) darinya.
Buku Referensi :
1.Buku Ushul Fiqih oleh Drs. Chaerul Uman dkk,
2.Buku Ikhtishar Mushthalahul Hadits oleh Drs. Fatchur Rahman
3.Buku Menjaga Cinta Dan Ridha Allah Yang Abadi oleh KH. Drs. Syaikh Misbahul Anam MT, dan KH. Drs. Syahrillah Asfari Mag,
4.Pengantar Seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits oleh Prof. Drs. Asymuni Abdur Rahman
5.Hadits Dalam Khazanah Intelektual Muslim : Al-Ghozali dan Ibnu Taimiyah oleh Dr. M. Amin Abdullah
1. PENDAHULUAN
Sunnah atau hadits secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, juga berarti qorib artinya dekat, jadid artinya baru, dan khobar artinya berita atau warta 1). Secara terminologi, hadits bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu :
1. Menurut Ilmu Hadits, yaitu semua yang disandarkan pada Nabi Muhammad saw, baik perkataan, perbuatan ataupun ketetapannya sebagaimana manusia biasa termasuk akhlaqnya baik sebelum ataupun sesudah menjadi rasul.
2.Menurut Ilmu Ushul Fiqh, yaitu :
مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْأَنِ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَوْ تَقْرِيْرٍ.
”Semua yang berasal dari nabi saw, selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun pengakuan.”
Jelasnya setiap perkataan, perbuatan dan ketetapan nabi saw, yang berkaitan dengan hukum.
3.Menurut Ilmu Fiqih, yaitu selain memiliki arti seperti ilmu ushul fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum yang mengandung pengertian :
”Perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa”
Dari definisi-definisi di atas, maka hadits dapat dibedakan menjadi Qauliyah, Fi’liyah, dan Taqrirriyah.
Hadits Qauliyah (perkataan nabi), yang sering dinamakan juga khabar berupa perkataan Nabi saw, seperti :
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ (الحديث)
”Tidak sah sholat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah.” (Al-Hadits)
1) Buku Ushul Fiqih, Drs. Chaerul Uman dkk, halaman 59
Hadits Fi’liyah (Perbuatan nabi), yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi saw, seperti :
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللـهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَلْبَسُ قَمِيْصًا فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ (رواه الحاكم)
”Adalah Nabi saw memakai bajunya di atas dua mata kaki.” (H.R. Hakim)
Hadits Taqririyah (Ketetapan nabi), yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi saw, seperti :
Kasus Amr bin Ash yang berada dalam keadaan junub pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi karena khawatir akan sakit. Amr bin Ash ketika itu hanya bertayamum, lalu hal ini disampaikan kepada Rasulullah saw. Kemudian Rasulullah bertanya kepadanya, ”Engkau melaksanakan shalat bersama-sama teman engkau, sedangkan engkau dalam keadaan junub?” Amr bin Ash menjawab, ”Saya ingat firman Allah Ta’ala yang mengatakan, ” Jangan kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”, lalu saya bertayamum dan langsung shalat.” Mendengar jawaban Amr ibn Al-Ash ini Rasulullah saw. Tertawa dan tidak berkomentar apapun (HR. Ahmad ibn Hanbal dan Al-Baihaqi).
Tidak berkomentarnya Rasulullah SAW, dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamun bagi orang yang junub dalam keadaan hari yang sangat dingin, sekalipun ada air untuk mandi.
Sunnah atau Hadits adalah sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an dan hal ini mayoritas pendapat jumhur ulama. Oleh karena itu wajib bagi umat islam menerima dan mengamalkan yang terkandung di dalamnya selama sunnah atau hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan Syiah yang tidak mengakui semua hadits yang dipandang sah oleh golongan ahli sunnah dan hanya mengakui sahnya suatu hadits kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli-ahli hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir2) mereka masih dapat menerimanya selama hadits itu sah menuruti kriteria ilmu hadits. 3)
2) Yaitu yang memahami dalil secara tekstual saja
3) Buku Ushul Fiqih, Drs. Chaerul Uman dkk, halaman 64
Sunnah dijadikan hujjah4) berdasarkan beberapa ayat Alquran :
QS. Al Hasyr 59; 7 :
..... وَ مَا أَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا وَ اتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
(الحشر ٧)
Artinya : “…….apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras Hukuman-Nya.”
QS. An Nisa 4; 59 :
يَاأََيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَ أُولِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِى شَىءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
(النساء ٥٩)
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
QS. An Nisa 4; 80 :
مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا (النساء ٨٠)
Artinya : ” Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
“Sesungguhnya aku mendirikan sholat, aku berpuasa dan berbuka, serta aku juga menikah. Siapa yang tidak menyukai sunahku maka bukanlah itu termasuk umatku.” (Al-Hadits)
”Bukan termasuk umatku, orang yang menentang kami (menolak sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapannya.)”
(Al-Hadits)
4) berarti keterangan atau dalil yang dijadikan sebagai bukti
2. PEMBAHASAN
Manusia terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, hal ini sunatullah. Alam pun berkembang, menjadi fenomena yang harus dihadapi manusia. Tidak diperlukan dalil penguatnya bahwa setiap manusia dari suatu generasi memiliki keperluan yang berbeda dengan generasi yang lain. Kita bersyukur bahwa kini kita berada pada masa dimana masyarakat islam cukup menyadari akan pentingnya kembali kepada sumber pokok al-islam yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al-Hadits, namun masih perlu meningkatkan pemahaman kita serta pengamalannya sesuai yang ditentukan oleh kedua sumber tersebut menurut kadar kemampuan kita berdasar pada kenyataan-kenyataan atau fenomena yang didapat pada masanya. Untuk dapat dipahami dan diamalkan bahwa Dienul Islam adalah Rahmatan Lil ’Alamin.
Pemikiran manusia berkembang menuju kesempurnaan, perkembangan ini takkan pernah berhenti karena kesempurnaan manusia tidak akan pernah tercapai karena manusia adalah makhluk yang lemah (An-Nisa 4; 28) sekalipun manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (At-Tien 95; 4) dan manusia adalah makhluk yang mulia (Al-Isra 17; 70). Dalam dunia pemikiran abad ini, Al-Qur’an dan As-Sunnah hendaknya menjadi rujukan dalam menghadapi segala permasalahan. Kedudukan Al-Hadits atau As-Sunnah sebagai sumber ajaran islam sudah jelas, mempunyai landasan yang kuat dalam Al-Qur’an. Kiranya pengembangan pemikiran kita terhadap hadits ini tidak menjadikan kita terjebak ingkar sunah5). Memang hadits telah banyak dibahas dalam kitab-kitab, tetapi juga menjadi problem kita, belum ada kesepakatan kita dalam pemahaman dan penggunaannya.
Hadits diyakini sebagai sumber al-islam yang berasal dari wahyu Allah yang Ghairu Mathluw6), yang maknanya dari Allah sedangkan lafadznya dari Nabi saw. Hal ini menyebabkan hadits yang memiliki pengertian perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw memerlukan pernilaian yang mendalam. Pernilaian terhadap hadits diperlukan oleh karena hadits sampai kepada umat melalui jalan periwayatan yang panjang sepanjang perjalanan kehidupan umat islam. Disamping dalam perjalanan hadits yang disampaikan dari generasi ke generasi memungkinkan
5) yaitu Tidak menjadikan Hadits Nabi saw sebagai sumber hukum
6) yaitu wahyu Allah yang Tidak tertulis
adanya unsur sosial maupun budaya dari masyarakat dimana pembawa riwayat hadits hidup. Untuk itulah penelitian hadits harus jeli dari setiap unsurnya, seperti sanad (jalur periwayatan) dan matan (lafadz atau materi isi) dari hadits tersebut. Penelitian hadits dari dua unsur tersebut diharapkan mampu membuat rumusan-rumusan yang pasti mengenai kriteria tertentu sehingga dapat diketahui hadits shahih yang akan membedakan dengan hadits hasan, dan hadits dhaif.
Dalam hubungannya dalam metode pemahaman hadits, selama ini terdapat generalisasi pemahaman, artinya semua hadits dipahami secara sama baik itu shahih, hasan atau dhaif dan baru sebagian kecil umat mengembangkannya melalui pendekatan kontekstual, sebagian besar umat masih menggunakan pendekatan tekstual saja.
Maka yang perlu kita pikirkan bersama adalah bagaimana :
1.Untuk memperoleh suatu rumusan yang benar tentang kriteria hadits shahih yang dapat dijadikan hujjah,
2.Untuk dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang sifat hubungan antara Al-Qur’an & As-Sunnah baik dari segi fungsi maupun makna,
3.Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang metode pemahaman hadits yang tepat melalui pendekatan yang komprehensif baik tekstual maupun kontekstual,
4.Untuk memperoleh rumusan tentang sikap yang adil dalam mengambil berbagai sumber informasi mengenai sikap ulama yang berbeda-beda tentang hadits,
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hadits merupakan sumber ajaran islam. Kelompok penolak hadits (inkar Sunnah) sudah mendapatkan bantahan yang sangat serius dari Jalaludin As Suyuti lewat sebuah karyanya yaitu ”Miftah Al Jannah fi Al Ihtijaj bi As Sunnah.” 7)
Dalam kitab-kitab ulumul hadits sudah dijelaskan bahwasanya suatu hadits dihukumi atau dinilai shahih apabila memenuhi 5, syarat :
1.Sanadnya muttasil, artinya tiap rawinya bertemu dengan marwi’anhunya.
2.Rawi-rawinya dari amal sampai akhir sanad terdiri dari orang-orang yang adil artinya jauh dari perbuatan maksiat.
7) Pengantar Seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits oleh Prof. Drs. Asymuni Abdur Rahman, Yogyakarta
3.Rawinya dari awal sampai akhir terdiri dari orang-orang yang dhabit, artinya mereka dalam keadaan sadar tatkala menerima hadits, faham terhadap hadits yang ia terima dan mampu memelihara keaslian hadits-hadits yang ia terima sejak menerimanya dari guru sampai menyampaikannya kepada murid.
4.Tidak syaz, artinya tidak berlawanan dengan dalil lain yang lebih kuat.
5.Tidak berillat atau tidak mempunyai cacat yang dapat menggugurkan keshahihannya.
Upaya penyeleksian terhadap keridibilitas sebuah hadits ini berangkat dari kenyataan dan keharusan sejarah dimana pada masa nabi ada beberapa sahabat yang menulis hadits-hadits nabi, yang diajarkan oleh nabi saw. Jadi hadits di masa nabi saw belum seluruhnya tertulis. Dan hadits yang dicatat oleh sebagian sahabat barulah merupakan sebagian dari seluruh hadits yang ada. Di samping itu, periwayatan sebuah hadits pada masa Nabi saw lebih banyak dalam bentuk lisan daripada tulisan, hal ini memberi pengertian bahwa kedudukan sanad (mata rantai periwayatan) memegang peranan yang sangat penting. Juga tidak bisa dipungkiri tentang adanya konflik politik di kalangan umat islam pada masa Khalifah Ali bin Abi Tholib yang telah memawa dampak negatif terhadap periwayatan hadits, yakni timbulnya hadits-hadits palsu. Untuk memisahkan antara hadits palsu dengan hadits asli, maka para ulama mengadakan penelitian terhadap pembawa berita-berita yang dikatakan hadits nabi.
Disamping itu kiranya inisiatif Khalifah Umar bin Khattab untuk mengkodifikasikan hadits secara formal tidak dibatalkan, tentu segala upaya pemalsuan hadits dapat dikendalikan sejak dini. Kodifikasi hadits baru dilakukan hampir satu abad sepeninggal nabi saw, atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dan dengan dilakukan penyeleksian dan kritik terhadap suatu hadits bukan ditujukan untuk mengungkap kelemahan Nabi Muhammad saw, yang oleh Al-Qur’an dinyatakan ma’sum8), akan tetapi diarahkan pada telaah prosedur guna menetapkan suatu hadits.
Hubungan antara Al-Qur’an dengan hadits, antara lain :
Pertama, antara Al-Qur’an dengan hadits jelas terdapat pertalian hubungan yang erat, dan karenanya satu sama lain tak dapat dipisahkan kendatipun antara keduanya bisa dibedakan dari berbagai aspeknya.
8) Rasulullah saw dipelihara oleh Allah swt dari dosa dan kesalahan
Kedua, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an.
Ketiga, kedudukan Al-Qur’an sebagai salah satu pengukur (instrumen) bagi kebenaran makna suatu hadits.
Keempat, Al-Qur’an dan Hadits sebagai warisan nabi yang harus dijadikan pedoman hidup agar tidak sesat untuk selama-lamanya.
Berikut sikap Imam al-Ghozali terhadap hadits :
1.Hadits menjadi sumber ajaran islam yang wajib diyakini oleh umat islam adalah hadits mutawatir. Ini berarti inkar padanya menyebebkan kekafiran, sedangkan inkar pada hadits ahad tidak menyebabkan kekafiran,
2.Hadits dapat menjadi penjelas dari Al-Qur’an secara mutlak baik yang mutawatir maupun yang ahad baik yang berisi masalah aqidah maupun di luar aqidah,
3.Metode pemahaman atas hadits tidak hanya tekstual, bahkan melampauinya sampai konteksnya.
Berikut sikap Imam IbnuTaimiyah terhadap hadits :
1.Hadits yang dapat dijadikan sebaai sumber ajaran islam adalah yang memenuhi syarat keshahihan baik itu mutawatir atau ahad, baik isinya memperkuat, menjelaskan, membatasi, maupun menambah isi Al-Qur’an,
2.Hadits shahih yang dapat menjadi sumber al-islam meliputi semua aspek, mulai dari masalah aqidah sampai masalah kenegaraan,
3.Metode pemahaman terhadap hadits yang shahih yang menjadi sumber ajaran islam tidak hanya tekstual, namun juga kontekstual yang menembus konteks waktu dan konteks tempat global secara kritis.
Kedua ulama di atas adalah ulama besar dan banyak pengikutnya, mereka berdua berpendapat bahwa kita harus menggunakan dan meyakini As-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua sebagai Al-Qur’an.
3. Kesimpulan
Dalam era globalisasi saat ini kita perlu selektif dalam menerima informasi-informasi terutama yang berhubungan dengan ajaran islam, betapa tidak saat ini sangat banyak pengkerdilan terhadap pemahaman umat islam tentang ajaran islam yang murni juga mengguritanya aliran-aliran sesat. Hadits sebagai sumber ajaran islam yang kedua harus kita laksanakan dengan sepenuh hati, dan yakinkan bahwa kita hanya diwajibkan untuk mengamalkan hadits yang benar-benar berasal dari nabi saw.
Hadits sebagai penjelas dari Al-Qur’an harus kita pelajari dengan seksama agar mendapatkan pemahaman yang mendalam tentangnya, sehingga segala amal yang kita lakukan senantiasa bernilai dan diterima oleh Allah swt. Semoga kita menjadi umat nabi Muhammad saw yang terbaik dan dicintainya serta kelak kita mendapatkan syafaat9) darinya.
Buku Referensi :
1.Buku Ushul Fiqih oleh Drs. Chaerul Uman dkk,
2.Buku Ikhtishar Mushthalahul Hadits oleh Drs. Fatchur Rahman
3.Buku Menjaga Cinta Dan Ridha Allah Yang Abadi oleh KH. Drs. Syaikh Misbahul Anam MT, dan KH. Drs. Syahrillah Asfari Mag,
4.Pengantar Seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Terhadap Hadits oleh Prof. Drs. Asymuni Abdur Rahman
5.Hadits Dalam Khazanah Intelektual Muslim : Al-Ghozali dan Ibnu Taimiyah oleh Dr. M. Amin Abdullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar