oleh Fajar Burnama
Sungguh menarik mengamati perkembangan kehidupan beragama di Indonesia. Seperti tergambar dalam antusiasme menghadiri acara-acara keagamaan, semakin hari, bangsa Indonesia semakin terlihat religius. Dzikir akbar dan pengajian yang bertema spiritual menjadi salah satu pilihan kegiatan dakwah yang sangat digemari. Tidak mengherankan jika program televisi juga semakin banyak mengalokasikan waktu untuk tayangan sejenis ini.
Setali tiga uang, jumlah kriminalitas pun meningkat. Keruntuhan moral anak bangsa semakin menganga. Porak porandanya akidah semakin ketara. Luluh lantahnya ukhuwah kian menggurita. Apakah kegiatan dakwah yang marak ini telah kering dari spiritualitas? Apakah para da’i tidak memahami kultur mad’unya ? Apakah kita tidak bisa merubah segalanya ?
Proses Terbentuknya Budaya Islam
Umar bin Khaththab semoga Allah meridhainya mengatakan: "Kita adalah umat yang telah Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berikan kemuliaan dengan Islam, maka bagaimanapun cara kita mencari kemuliaan tanpa Islam maka Allah akan tetap menjadikannya sebagai kehinaan."
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa membagi manusia menjadi dua bagian, Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman, yang artinya :
"Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir) ? Mengapa kamu (berbuat demikian) bagaimanakah kamu mengambil keputusan" (QS Al Qalam: 35-36)
Pilihannya hanya satu dari dua, muslim atau mujrim (orang yang berbuat dosa), orang yang baik atau jelek, sesat atau dapat petunjuk, shaleh atau merusak, taat atau ma'siat. Tidak ada pilihan ketiga.
"Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertaqwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat ?" (QS Shaad ayat 28)
Kondisi penduduk Makkah dan Madinah sebelum datangnya islam sungguh gelap, terjadi perampokan di mana-mana, perjudian, perzinaan, pembunuhan, kecurangan dalam perdagangan, hingga penguburan hidup-hidup bayi perempuan.. Namun setelah islam datang, secara perlahan tapi pasti keadaan tersebut berbalik seratus delapan puluh derajat, bahkan seluruh penduduk di jazirah Arab menjadi model masyarakat terbaik yang pernah ada di muka bumi. Setelah Muhammad saw, menerima wahyu pertama1 di Gua Hiro, kemudian beliau resmi diangkat sebagai Nabi dan Rasul Allah.
Setelah itu, turun wahyu untuk mengajak manusia terhadap islam2 yang kemudian dinamakan dengan fase dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi), beliau pertama kali mengajak istrinya yakni Siti Khadijah ra, beliau pun beriman. Kemudian kepada sahabat karibnya yakni Abu Bakar ra, kemudian kepada Ali Bin Abi Thalib ra. sepupunya, dan Zaid bin Haritsah ra, anak angkatnya, mereka pun beriman. Melalui Abu Bakar ra, masuk islamlah Utsman bin Affan ra, Thalhah bin Ubaidilah ra, Sa’ad bin Abi Waqash ra, dan Abdurrahman bin Auf ra. Rasulullah saw, mengokohkan keimanan dan kesabaran mereka dengan melakukan pembinaan (tarbiyah), agar kelak mereka siap untuk berdakwah kepada orang-orang yang tidak sabar dan cenderung menolak dakwahnya. Pembinaan tersebut dilakukan di rumah salah seorang sahabat, yakni Arqom bin Abil Arqom Al-Makhzumi ra,. Mereka dibina oleh Rasulullah saw, tentang tsaqofah islamiyah, yang meliputi tsaqofah jasmaniyah, tsaqofah ruhiah, dan tsaqofah ilmiyah.
Rasulullah saw, merupakan ancaman bagi kepentingan dan hidup mereka yang dibangun di atas kezaliman. Beliau telah menghalangi jalan bagi tersalurkannya hawa nafsu dan keserakahan mereka. Beliau saw, tidak berhasil mereka bujuk untuk mengikuti keinginan dan nafsu mereka. Para pengikut kebatilan, dulu maupun sekarang, melihat pembawa ajaran kebenaran sebagai musuh. Sebab para pengusung kebenaran itu berkata kepada mereka, “Tidak ada tempat bagi kemaksiatan, tidak ada waktu untuk mengikuti hawa nafsu, dan tidak ada ruang untuk kezaliman.”3
Setelah masuk islamnya Umar bin Khattab ra, dan Hamzah bin Abdul Muthalib ra, serta turunnya perintah untuk dakwah secara terang-terangan4, maka dimulailah fase dakwah dzahriyah (terang-terangan).
Seluruh sahabat melakukan dakwah ke seluruh penjuru Makkah. Meski perjuangan mereka sangat berat karena menghadapi penolakan yang kasar dari sebagian besar penduduk Makkah yang sangat berpegang teguh pada agama nenek moyangnya yakni menyembah berhala. Sehingga Rasulullah saw, memerintahkan mereka untuk hijrah ke Habasyah. Beliau juga berusaha untuk berdakwah ke Thaif, namun mereka pun menolak dakwah beliau. Tetapi karena pembinaan (tarbiyah) yang dilakukan oleh Rasulullah saw, para sahabat tetap sabar dan tawakal serta tetap dalam keimanannya yang agung, serta cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Istri beliau Siti Khadijah adalah orang yang senantiasa menguatkan hati Rasulullah saw, di masa-masa beratnya dakwah islam. Beliau senantiasa menghibur saat sedih, selalu memotivasi saat hatinya gundah dan gelisah. Siti Khadijah ra, menjadi salah-satu faktor keberhasilan dakwah nabi saw. Orang-orang kafir Quraisy, para kerabat, dan paman-paman Rasulullah saw, bersekongkol untuk membunuh beliau.5 Dan atas perintah Allah beliau pun hijrah ke Yatsrib atau Madinah untuk mendapatkan kondisi yang lebih kondusif dalam rangka mengembangkan dakwah islam.
Setelah tiba pertolongan dari Allah melalui hijrah kaum muslimin ke Yatsrib atau Madinah, maka dakwah islam semakin berkembang. Kaum Anshor yang dimotori oleh kaum Aus dan Khajraj melakukan bai’at kepada Rasulullah saw, yang dinamakan Bai’atul ‘Aqobah 1 dan 2.6 Dakwah nabi saw beserta para sahabat berlangsung lebih mudah, karena kaum anshor sangat mudah menerima cahaya kebenaran yang dibawa islam. Dengan mengajarkan islam melalui Al-Qur’an dan sunnah Nabi saw, serta dibentuknya pondasi negara islam pertama di dunia (daulah islamiyah) terbentuklah tatanan masyarakat yang menjadi model masyarakat terbaik yang pernah ada di muka bumi.
Ajaran islam telah terinternalisasi ke dalam pribadi-pribadi muslim. Semua aspek kehdupan, berkeluarga, bermasyarakat, bernegara telah diatur oleh Syairiah islam. Ekonomi, politik, sosial, budaya, seni, dan aspek lainnya islamlah panduannya. Dimulai dari saat itu maka terbentuklah budaya islam di muka bumi. Untuk konteks ke-Indonesiaan, budaya islam masih terasa parsial, satu sisi islam telah menjadi rujukan utama, namun di beberapa tempat islam masih di anak tirikan.
Straregi Kebudayaan Dakwah Islam
Gerakan dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah adalah gerakan yang penuh berkah (ash-shahwah al-mubarakah); gerakan yang penuh moderat (shahwah mu’tadilah), terpadu, terkendali, berkesinambunag dan jauh dari unsur ekstrimisme (at-tatharruf).7 Setiap melaksanakan dakwah, setiap da’i harus selalu mengikuti prinsip gerakan dakwah Rasulullah saw, tersebut, karena telah terbukti keberhasilannya dan merupakan bentuk kecintaan kita sebagai pewaris para Nabi kepada beliau saw,.
Membicarakan media dakwah tidak lepas dari metode yang dilakukan dalam melakukan dakwah. Pengembangan metode dakwah sangat berkaitan media yang harus menyertainya. Seorang da’i harus mampu memilih media dan metode dakwah yang relevan dengan kondisi mad’u yang telah dipelajari secara komprehensif dan berkesinambungan. Kegiatan dakwah yang dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi mad’u akan lebih memberikan dampak, karena kemudian dakwah dilakukan dengan media dan metode yang sesuai.
Seorang da’i hendaklah memilih metode dan media yang dari masa ke masa terus berkembang, seperti mimbar, panggung, media cetak, atau elektronik (radio, internet, televisi, komputer). Kemudian dengan mengembangkan media atau metode kultural dan struktural, yakni pranata sosial, seni, karya budaya, dan wisata alam. Juga dengan mengembangkan dan mengakomodasikan metode dan media seni budaya masyarakat setempat yang relevan, seperti wayang, drama, musik, lukisan, dan sebagainya.
Dengan penjelasan di atas, maka media dakwah terdiri dari :
Media Fisik :
Mimbar
Panggung
Media cetak (Majalah, Buletin, Surat Kabar, dll)
Media elektonik (Radio, Televisi, Internet, dll)
Media Kultural dan Struktural :
Pranata sosial
Seni (Wayang, Drama, Musik, Lukisan, cerita/dongeng, dll)
Karya budaya
Wisata alam
Pesan serta metode dakwah harus disesuaikan dengan mad’u agar dakwah kita berhasil. Berikut ragam pesan dakwah yang berisi metode yang dapat disesuaikan dengan mad’u :
a.Nasihat yang baik
Berisi pengajaran
Berisi pembinaan moral
b.Memberi Motivasi dan Ancaman
Memberi motivasi dan kabar gembira
Dengan janji, berisi janji-janji Allah bagi manusia yang taat, baik untuk di dunia maupun di akhirat
Dengan menyertakan macam-macam bentuk ketaatan
Memberi ancaman dan peringatan
Diberi azab, bagi orang yang inkar dan kufur terhadap Allah dan rasul-Nya. Baik yang akan ditimpakan juga yang telah menimpa orang terdahulu
Diberi azab di akhirat kelak
Siksa mental di hari kiamat
Hukuman atas dosa yang bermacam-macam
c.Memberi contoh-contoh bijak
Kisah-kisah orang taat masa lalu dan kini
Perumpamaan-perumpamaan yang berhikmah
Melihat sifat orang-orang terpuji
Kebudayaan merupakan salah satu ciri kebearadaan manusia di muka bumi. Dakwah mau tidak mau harus melibatkan hal yang satu ini dalam usahanya. Kita tidak akan mampu mengeneralisir kebudayaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Kebudayaan manusia, awalnya muncul karena adanya manusia, namu dalam perkembangannya, manusia lebih dipengaruhi oleh kebudayaan yang ada.
Menarik, mendalam, dan menerus adalah syarat penerapan dakwah dalam ranah kebudayaan, kalau kita memahami kebudayaan sebagai hasil cipta karya, dan rasa manusia. Influentif, sabar, tegas, persuasif, dan proporsiaonal adalah hal selanjutnya yang harus menjadi ukuran kegiatan dakwah, kalau kita memahami kebudayaan sebagai norma, pola hidup, dan nilai di dalam suatu masyarakat.
Membuat karya budaya sarat dakwah seperti wayang dakwah, cerita, dongeng, drama yang berisi pesan dakwah persuasif dan inklusif, design pakaian islam yang modern dan syar’i bisa kita lakukan sebagai langkah dakwah alternatif. Keteladanan, karya nyata, penyuluhan, bhakti sosial juga bisa dilakukan untuk menginternalisasikan cahaya islam kepada masyarakat.
Masa Depan Dakwah Antar Budaya
Islam di Indonesia yang telah berusia tua telah membentuk sebagian besar budaya lokal. Umat semakin senang dengan hal-hal yang berbau islam. Sungguh pun antusiasme tersebut tidak serta merta mencerminkan kualitas keberagamaan seseorang, namun paling tidak hal itu menunjukkan adanya optimisme masyarakat bahwa islam dapat menyelesaikan problem hidup. Tangisan dalam acara dzikir akbar misalnya, menggambarkan beban hidup yang selama ini belum mampu diatasi. Kekhidmatan dalam mendengarkan alunan bacaan kitab suci al-Qur’an dan petuah para agamawan juga menyiratkan harapan adanya solusi dan bekal dalam menghadapi beratnya beban hidup tersebut. Karena memang naluri beragama yang sangat kuat melekat dalam diri setiap insan.
Pada dasarnya optimisme masyarakat terhadap kemampuan agama dalam menyelesaikan problem hidup bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Sejak lama, kehidupan umat manusia tidak bisa dilepaskan dari peran agama. Agama seakan-akan hadir bersamaan dengan munculnya misteri dan problem hidup. Dalam masyarakat agraris di masa lalu, faktor misteri kekuatan alam menjadi penyebab utama mengapa manusia beragama. Ketergantungan masyarakat terhadap alam berbanding lurus dengan peran agama dalam masyarakat. Semakin mereka mengalami kecemasan dan kebingungan berkenaan dengan sumber nafkah mereka, maka kebutuhan mereka terhadap agama semakin kuat. Mereka sangat mempercayai adanya kekuatan di luar alam (Tuhan) yang mengatur kesuburan alam.
Sedangkan dalam masyarakat industri, misteri dan problem hidup berkaitan dengan eksistensi manusia menjadi motif utama dalam beragama. Masyarakat industri ditandai dengan adanya rasionalisasi pekerjaan, dimana pekerjaan dispesifikasi dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan keahlian seseorang. Sehingga semakin trampil dan ahli seseorang, akan semakin mendapatkan jabatan yang tinggi. Konsekuensinya, masyarakat akan terbangun dalam suasana hirarkis. Problem eksistensial akan banyak menimpa pekerja di tingkat pelaksana atau operasional. Mereka mengalami keterasingan karena terjebak dengan rutinitas yang mekanik. Seperti mesin yang bekerja sesuai dengan setting yang sudah diterapkan. Itulah sebabnya mengapa antusiasme terhadap kegiatan-kegiatan agama menguat dalam masyarakat kota.
Terlepas dari perbedaan motif beragama dalam setiap masyarakat, kebutuhan terhadap agama menggambarkan adanya peran agama yang sangat kuat dalam kehidupan manusia. Antusiasme masyarakat terhadap agama memberikan “ruang” bagi agama untuk mengintervensi dan mengontrol arah kehidupan manusia. Sesuatu bernilai baik atau pun buruk tergantung pada pandangan agama, sehingga agama menjadi penentu dan pengontrol kualitas kehidupan.
Peran agama itu tentu memberikan harapan bagi terciptanya kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kehidupan yang penuh dengan kedamaian dan keharmonisan menjadi salah satu kondisi yang sangat diharapkan oleh umat manusia. Mengenai hal ini, kontribusi agama dalam membangun perdamaian dan keharmonisan agak variatif. Di samping berkontribusi dalam menciptakan perdamaian, agama juga kerap terlibat dalam konflik dan peperangan.
Sebenarnya benturan antar pemeluk agama itu lebih disebabkan pada sakralisasi identitas agama. Sakralisasi itu mengakibatkan klaim kebenaran pada kelompok agamanya sendiri, dan kesesatan pada kelompok agama lain. Namun demikian, benturan itu tidak sepenuhnya disumbangkan oleh agama. Dalam banyak kasus perang antaragama, motif politik dan persaingan ekonomi lebih dominan. Keterlibatan agama lebih pada pemanfaatan “identitas transenden” yang mudah untuk dibangkitkan dan diletupkan. Dengan kata lain, agama digunakan sebagai alat mobilisasi pertikaian. Padahal dalam relung hati yang paling dalam, manusia membutuhkan agama justru untuk perdamaian dan keharmonisan hidup. Maka semakin jauh keterlibatan agama dengan kontestasi politik dan ekonomi, akan semakin besar kontribusinya dalam membangun perdamain.
Lebih jauh lagi, "kesatuan umat Islam" masih dapat merangkum dan mentolerir beberapa bentuk pergulatan politik sampai pada bentrokan bersenjata, karena orang-orang yang bertikai itu masih tetap menjaga loyalitas mereka kepada "negara yang satu". Mereka tetap menjaga kesatuan politik dan tetap loyal kepada "agama yang satu", sehingga mereka masih tetap menjaga faktor kesatuan agama. Peperangan mereka adalah semata karena "takwil (perbedaan memahami teks agama), bukan karena "tanzil" (teks agama yang berbeda yang diimani), dan mereka, meskipun melakukan peperangan, berada dalam loyalitas kepada kesatuan negara dan kesatuan agama.
Dalam kejadian Perang Shiffin (37H/657M), Imam Ali bin Abi Thalib berbicara tentang kesatuan agama yang menyatukan seluruh pihak yang bertikai dalam peperangan itu. Demikian juga kesatuan negara masih menaungi mereka. Ali bin Abi Thalib berkata:
"Kita berdiri berhadap-hadapan (dalam perang), sedangkan Tuhan kita satu, Nabi kita satu, dakwah kita dalam Islam satu, kami tidak menganggap keimanan kami kepada Allah SWT dan pembenaran kepada Rasulullah Saw lebih dari kalian, dan kalian pun tidak mengganggap diri kalian lebih dari kami. Semuanya satu, kecuali satu hal yang menjadi perselisihan di antara kita, yaitu tentang sikap atas darah Utsman. Sedangkan, kita semua dalam masalah itu tidak mempunyai kesalahan."
Agama mereka satu dan menaungi semuanya. Mereka berada dalam kesatuan yang melingkupi semuanya, sementara perselisihan dan pertikaian itu hanya pada masalah sikap atas "darah" Utsman r.a. saja.
Jalan membentang di hadapan para pelaku dakwah. Perdalam ilmu, perbanyak amal, perkuat jiwa, pererat ukhuwah, pertahankan jamaah, terus lakukan dakwah sekecil apapun itu. Masa depan gemilang dakwah akan kita jelang bersama. Allah berfirman :
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur [24]:55)
KESIMPULAN
Menyimak uraian-uraian di atas, dapat diprediksi bahwa misi dan tantangan dakwah tidaklah pernah akan semakin ringan, melainkan akan semakin berat dan hebat bahkan semakin kompleks dan melelahkan. Inilah problematika dakwah kita masa kini. Oleh sebab itu semuanya harus dimenej kembali dengan manajemen dakwah yang profesional dan dihendel oleh tenaga-tenaga berdedikasi tinggi, mau berkorban dan ikhlas beramal.
Mengingat potensi umat Islam yang potensial masih sangat terbatas, sementara kita harus mengakomodir segenap permasalahan dan tantangan yang muncul, maka ada baiknya kita coba memilih dan memilah mana yang tepat untuk diberikan skala prioritas dalam penanganannya, sehingga dana, tenaga, dan fikiran dapat lebih terarah, efektif, dan produktid dalam penggunaanya.
Mad’u utama bagi setiap da’i adalah keluarga dan kerabatnya yang terdekat, karena dengan demikian ia telah membuat model mad’u yang dapat ditiru oleh mad’u yang lebih luas. Kemudian seorang da’i harus mengkaji dan mempertimbangkan metode pendekatan spiritual dengan mad’u, antara lain melalui shalat, dzikir, doa, silaturahim, dan sebagainya. Sehingga ada ikatan batin yang kuat dan pesan dakwah pun akan mudah diterima, serta tujuan dakwah dapat tercapai dengan paripurna.
DAFTAR PUSTAKA
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, Alqur’an dan Terjemahnya Al-‘Aliyy. CV. Penerbit Dipenogoro. Bandung. 2005.
Muhyidin, Asep, Agus Ahmad Safei. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung. Pustaka Setia. 2002.
al-Qarni, A’id Abdullah. Alqur’an Berjalan, Potret Keagungan Manusia Agung. Sahara Publishers Jakarta. 2005.
Film Sejarah Daulah Khilafah Islamiyah (570-1924) Seri 1 Membangun Peradaban Islam, El-Moesa Production. Yogyakarta. 2006
Artikel “Problematika Dakwah Masa Kini”, karya RB. Khatib Pahlawan Kayo.2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar