Sabtu, 30 Mei 2009

autobiografi

oleh Fajar Burnama


Semasa SD

Aku dilahirkan pada hari Jum’at tanggal 15 Nopember 1985. Kala itu matahari baru saja menampakkan batang hidungnya. Cahayanya yang merah keemasan menusuk masuk ke dalam sela-sela rumahku. Kakekku dari Ibuku berperan sebagai pemberi nama bagi si jabang bayi, dan sang bayi pun dinamai FAJAR yang bermakna matahari di pagi hari. Awalnya namaku FAJAR BUDIMAN, tapi kemudian entah kenapa atau mungkin setelah didiskusikan dengan alot nama yang diputuskan adalah FAJAR BURNAMA, sungguh nama yang indah, menurutku. Ketika aku dilahirkan kakakku sudah berusia kurang dari dua tahun.
Ketika aku dilahirkan, aku merasa sedih, buktinya kala itu aku menangis sejadi-jadinya. Sungguh tragis. Berbeda dengan ayah, ibu, kakak, bibi, paman, kakek, nenek, saudaraku yang lain, bahkan tetanggaku, mereka merasa sangat bahagia. Mereka tersenyum simpul. Hatiku pun ngajerit maratan langit ngagoak maratan jagat, kemudian bergumam, mereka sungguh tidak merasakan apa yang kurasakan, kepedihan, kesedihan, ketakutan yang menggelayut di dalam sanubariku, kuatkanlah aku ya Allah. Kemudian aku bertekad dalam hati, “Kelak mereka yang akan bersedih sejadinya, sedang aku akan berbahagia tidak terkira, nanti, ketika aku mati.”
Kian hari aku tumbuh dengan baik, semua karena perhatian dan kerja keras dari kedua orang tuaku yang sangat aku sayangi. Mereka tiada duanya, yang memancarkan kasih sayangnya bagai sinar matahari yang terus bersinar tanpa mengharapkan balasan dari siapapun. Itulah cinta orang tua yang sejati. Ayahku bernama O. Sudjana, ibuku bernama Hanny Sachyati, dan kakakku bernama Arie Asmara. Dengan penuh kesederhanaan dan cinta kasih, kami menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Ayahku adalah seorang wirausahawan sejati, beliau mampu menghidupi keluarga dan mencukupi kebutuhan kami dengan kerja keras dan cucuran keringatnya kelak akan menjadi saksi kegigihannya berjuang demi keluarga yang dicintai. Ayahku juga seorang seniman, beliau mahir memainkan kecapi Sunda dan memiliki suara yang sangat bagus. Beliau pun beberapa kali tampi di RRI, juga pernah tampil di Bandung TV. Beliau memiliki Lingkung Seni yang bernama Lingkung Seni Galura Hanjuang. LS Galura Hanjuang sudah pernah manggung di banyak tempat, mulai dari acara hajatan, hingga acara tujuhbelasan, dan menjadi hiburan tetap di salah satu Bank terkemuka pada kegiatan-kegiatan tertentu. Oh iya, perlu aku ceritakan di sini bahwa ayahku adalah seorang yang sangat memperhatikan kesehatannya. Beliau adalah orang yang dikenal mahir dalam beberapa cabang olahraga, sebut saja bola voli, sepak bola, tenis meja, catur, badminton, dan lari adalah cabang olah raga andalannya, dan hal ini telah diketahui oleh semua orang yang beliau kenal. Beliau sangat disegani, sehingga beliau terpilih menjadi Ketua Rukun Warga (RW). Ibuku adalah wanita hebat, beliau pekerja keras dan pantang mengeluh di setiap keadaan. Dulu, ayah dan ibuku bekerja di satu perusahaan, mereka berdua sangat gigih bekerja untuk menghidupi keluarga. Kami tinggal di Jalan Cihanjuang no.49/51 yang kini berubah namanya menjadi Jalan Daeng Muhammad Ardwinata Kelurahan Cibabat Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi.
Saat aku kecil setiap pagi aku selalu diberi sarapan telur setengah matang. Berbeda dengan kakakku yang jarang menghabiskannya, aku bisa menghabiskan telur setengah matang dua setiap pagi. Tubuhku jauh lebih besar dari kakakku. Aduh aku sampe lupa, aku belum menceritakan tentang kakakku, beliau lebih tua dua tahun dariku, beliau sangat rajin mengaji dan selalu mengajakku. Meski kadang kami bertengkar, kami berdua saling menyayangi.
Aku disekolahkan di sekolah yang berbeda dengan kakakku, kata ayahku ini agar kami pengalaman yang berbeda, dan berusaha menjadi diri sendiri. Aku bersekolah di SD Negeri 5 Cimahi, dekat dengan Masjid Agung Kota Cimahi. Waktu aku duduk di kelas satu, aku sudah mahir membaca tetapi kemampuanku berhitung tidak sebaik kemampuanku membaca. Kebahagiaanku membuncah saat pembagian Buku Rapot catur wulan satu kelas satu, aku mendapatkan rangking ke-50. Aku pun menceritakan hal ini kepada teman-teman rumahku dengan perasaan bangga, aku merasa sebagai orang hebat kala itu. Wah, sulit rasanya menggambarkan kebahagianku kala itu. Jumlah murid sekelasku kala itu mencapai tujuh puluh lima orang, jumlah yang sangat banyak. Terbayang sulitnya guruku kala itu. Ibu Yanti, sosok guru yang sabar, telaten, berwibawa, beliau adalah guru yang kedua setelah ibuku yang mengajariku kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia yaitu membaca, menulis dan berhitung. Seorang presiden sekalipun pasti mengawali semuanya dari belajar ketiga hal itu, maka sebetulnya orang yang paling berjasa pada kita adalah guru kita yang sangat sabar mengajari kita saat kita duduk di kelas satu sekolah dasar. Kemampuanku berhitung semakin bertambah, sehingga aku pun naik ke kelas dua. Aku tergolong murid yang berada di “poros tengah”. Tidak ada yang menonjol dariku kecuali bentuk tubuhku yang lebih besar dari teman-temanku.
Di sekolahku ada pelajaran muatan lokal Pencak Silat. Aku sangat menyukainya, dan semangat bila tiba waktu pelajarannya. Aku pun selalu menghafalkan tiap jurus yang diajarkan. Aku masih ingat, dulu aku hafal jurus Tepak Tilu sampai akhir. Sekolah kami pun sering diundang untuk mengajarkan pencak silat di sekolah lain, dan aku termasuk yang diutus. Bangganya aku saat itu, serasa mejadi pelatih yang sesungguhnya, sebagaimana yang ada di film-film ketika itu.
Waktu aku SD, aku punya dua orang teman dekat, mereka adalah Henri dan Afrian Ismantoro. Kami bertiga begitu akrab dan kompak. Henri memiliki bentuk tubuh yang tidak jauh berbeda denganku, sedangkan Afrian tubuhnya pendek dan kurus. Tapi kami tidak memikirkan bentuk fisik kami, yang terpenting adalah kami cocok dan menyayangi satu sama lain. Aku pun sering bermain ke rumah mereka berdua saat pulang sekolah, orang tua mereka sangat ramah padaku. Kami bertiga duduk pada satu bangku di kelas, mengerjakan tugas bersama, berdiskusi dan bermain serta jajan bersama. Aku ingat kala itu, saat kami kelas dua sampai kelas empat SD, mereka berdua selalu bertanya padaku tentang pelajaran, aku pun seolah menjadi pemimpin mereka. Beranjak kelas lima sekolah dasar, entah mengapa mereka berdua berubah, mereka menjadi lebih pintar dariku, sungguh tidak terduga. Mereka pun mencapai peringkat sepuluh besar sejak itu. Berbeda denganku, aku masih seperti yang dulu.
Memang kuakui aktifitasku sehari-hari didominasi oleh bermain ketimbang belajar waktu itu. Setiap hari sepulang sekolah aku selalu bermain dengan teman-teman sebayaku di sekitar rumahku. Opik, Iyan, Ade, Mukti, Yayang, Embeb adalah sebagian teman-teman yang selalu bermain denganku, kadang kami bermain sepakbola, ucing-ucingan, petak umpet (ucing sumput), bancakan, main kelereng, ucing dongleng, bebentengan, juga makan bersama dan jalan-jalan bersama. Masa kecilku kulalui dengan bahagia, meski prestasi yang kuraih tidak begitu istimewa.
Setiap sore aku selalu pergi ke masjid untuk mengaji. Beberapa kali aku mengikuti lomba mengaji iqro dan kadang aku pun berhasil menjadi juara. Pengalamanku menjadi juara lomba saat masih di sekolah dasar, yaitu saat aku mengikuti lomba cerdas cermat pada peringatan Tahun Baru Islam. Bersama kedua temanku aku berhasil menduduki posisi tertinggi pada perhelatan lomba cerdas cermat tingkat sekolah dasar di masjid dekat rumahku (tentang masjid ini akan dibahas berikutnya). Aku masih ingat saat itu nilai timku sama dengan tim lain, kemudian diajukanlah pertanyaan penentu bagi kami, atas ijin Allah swt temanku, Dinur, dengan cekatan berhasil memencet tombol duluan dan menjawab pertanyaan (Siapakah Nabi setelah Nabi Adam as?) dengan jawaban Nabi Idris as, dan kami pun berhasil menjadi kampiun. Bangganya aku, dan hingga sekarang piagam perhargaannya masih aku simpan dengan baik.
Aku pun sangat senang olahraga, meski tubuhku terbilang tidak atletis. Aku senang bermain badminton. Aku jadi teringat waktu aku mengikuti pertandingan badminton tingkat RW pada peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Kala itu aku termasuk peserta yang diunggulkan, sebagaimana Taufik Hidayat, atlet badminton andalan Indonesia yang pernah meraih medali emas olimpiade, mudah-mudahan tidak berlebihan Ketika itu aku berhasil masuk final, dan harus berhadapan dengan temanku Opik yang berusia lebih muda dariku. Aku merasa bisa menjadi juara karena usiaku lebih tua darinya. Pertandingan berlangsung dengan alot, kami pun saling menyusul poin. Babak pertama berhasil aku menangkan dengan meyakinkan, tapi babak kedua aku Opik bermain lebih impresif dan berhasil menutup permainan dengan kemenangan. Di babak ketiga mentalku down, teman-temanku lebih mendukung Opik untuk menjadi juara ketimbang aku. Konsentrasiku pun buyar, aku sering membuat kesalahan sendiri, sedangkan Opik semakin menikmati pertandingan. Akhirnya, secara dramatis aku berhasil ia kalahkan, dan ketika itu muncullah kekecewaan yang memuncak dalam hatiku, emosiku meluap bagai cairan lahar yang keluar dari perut bumi. Aku pun berlari meninggalkan lapangan sambil menangis sejadinya, oh, malunya aku saat itu. Aku sempat merasa marah pada diriku sendiri, terlebih pada sang juara, Opik. Tapi kemarahan itu tidak berlangsung lama, itulah anak kecil, jiwanya tenang, hatinya bersih. Berbeda dengan orang-orang dewasa yang seringkali menyimpan kemarahannya seperti orang yang menyimpan uang di dalam dompetnya, segan untuk dilupakan bahkan dihilangkan. Lihatlah realitas, berapa banyak orang yang berani bersumpah untuk tidak bergaul dengan orang yang pernah menyakitinya. Mereka tidak ingat bahwa Allah swt itu Maha Pengampun, sebesar apapun kesalahan dan kekurangajaran yang dilakukan oleh manuia. Ampunan-Nya seluas lautan meski kita jarang bertobat pada-Nya. Indahnya hidup bisa terasa, nikmatnya dunia bisa diraih andai kita bisa memelihara perdamaian dan kasih sayang antara kita. Aku jadi teringat sebuah syair :

Kaki kecil melangkah
Menyusuri alam raya
Seakan tiada beban
Hidup di dunia

Oh indahnya hidup seperti mereka
Yang tiada dengki
Iri hati
Damainya

Andaikan kita berfikir
Mampu setulus mereka
Yang tak kenal pertengkaran
Hanya cinta kedamaian

Andaikan kita bersikap
Mampu sejujur mereka
Yang tak kenal perpecahan
Hanya cinta kasih sayang

Olahraga lain yang kusenangi adalah bola voli, aku pernah mewakili sekolahku dalam pertandingan bola voli tingkat Kota Cimahi. Tim kami berhasil menembus final, lawan kami adalah tim SD Andreas. Kami heran, kendati mereka masih siswa SD tetapi fisik mereka sungguh berbeda dengan kami, mereka tinggi besar dan kaki mereka sudah lebat dengan bulu. Tim kami bisa mengimbangi permainan mereka meski akhirnya kami menelan kekalahan, tapi aku sangat bangga karena kami telah berjuang dengan optimal. Pelatih pun bangga kepada kami, beliau berkata, “Kalian sudah bermain bagus, tapi lawan kalian lebih bagus. Mungkin inilah kemampuan kita saat ini, kita harus berusaha lebih keras agar bisa mendapatkan hasil yang lebih optimal.”
Beranjak kelas enam sekolah dasar, aku mulai konsentrasi pada pelajaran. Aku ingin lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya yakni masuk ke sekolah lanjutan tingkat pertama. Guru kami pun menambah waktu belajar dengan mengadakan jam tambahan sepulang sekolah. Akhirnya dengan kerja keras dan kesadaran yang tinggi aku berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan dasarku. Alhamdulillah.

Semasa SMP

Aku masuk ke Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kota Cimahi, sebuah SMP peringkat ke-4 di Kota Cimahi. Aku masuk dengan tekad untuk menjadi lebih baik ketimbang semasa sekolah dasar. Aku pun membenahi aaktifitas harianku, kukurangi sedemikian hingga waktu bermain. Aku perbanyak waktuku untuk belajar. Meski aku “kehilangan” teman-temanku karena sangat jarangnya aku bermain ke luar rumah. Tapi aku sudah punya tekad yang harus aku pertahankan terus bila ingin menjadi lebih baik terutama dari segi akademis.
Semuanya berjalan cukup lancar, hari-hariku semasa kelas satu sekolah menengah pertama begitu padat dengan belajar, aku jadwalkan setiap kegiatanku, terutama waktu untuk belajar yang sangat aku perhatikan. Sampai akhirnya diumumkan peraih peringkat kelas, yang tadinya (semasa sekolah dasar) aku tidak pernah masuk sepuluh besar, terkejutnya aku saat guru mengumumkan bahwa aku menjadi peringkat ketiga di kelasku. Bahagia sekali aku kala itu, sungguh tidak sia-sia usahaku selama ini, sungguh tidak sia-sia pengorbananku selama ini. Hingga tiga caturwulan berturut-turut tidak ada yang mampu menggeser posisiku di kelas. Pokoknya di kalangan laki-laki akulah yang terbaik, karena peringkat 1 dan 2 keduanya perempuan. Terbuktilah sebuah ungkapan “setiap orang akan memetik hasil setiap hal yang ia tanam dan usahakan.”
Di awal catur wulan ketiga, wali kelasku, Ibu Yanti, memanggil aku dan beberapa temanku ke ruang guru. Kami ditawari untuk masuk OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) yang terbilang organisasi yang bergengsi, karena anggotanya adalah siswa-siswa yang duduk di lima besar peringkat kelas. Aku pun bersedia dengan sepenuh hati.
Aku ikuti setiap kegiatan yang diadakan OSIS dengan semangat, hingga aku terpilih menjadi Ketua 3 (posisi tertinggi untuk siswa kelas 1 dalam kepengurusan OSIS). Aku pun mulai mengenal organisasi sejak saat itu. Beberapa kali aku bertindak sebagai pimpinan rapat OSIS, sungguh pengalaman yang mengesankan. Lokasi sekolahku yang cukup sulit dijangkau, harus dua kali naik angkot, menjadikan sebagian temanku rela pergi ke sekolah menggunakan sepeda. Meskipun mereka harus berkeringat sebelum mulai pelajaran, namun aku lihat mereka sangat menikmatinya.
Aku pun naik kelas dua dengan tekad yang sama, menjadi yang lebih baik dari sebelumnya. Di kelas dua aku mendapat teman-teman yang baru, dulu aku di kelas 1 B, sekarang aku di kelas 2 B. Kelasnya sama tapi teman sekelas yang berbeda. Persaingan jelas semakin berat saat itu, tapi aku berusaha untuk melewatinya dengan sebaiknya. Aku sebangku dengan temanku Muhammad Ramdhan Azhar, dia anak yang baik dan cukup pintar. Pada saat awal masuk, dia maju ke depan kelas, kemudian berkata, “Baik saya Azhar, kita sekarang di kelas yang baru, dan pastinya kita membutuhkan KM (Ketua Murid) dan seksi-seksi lainnya. Siapa kira-kira yang bersedia?” Temanku yang lain cukup kaget dengan apa yang dilakukan oleh Azhar, tidak terkecuali denganku. Tanpa berfikir panjang kami pun serentak menjawab, “kamu!!”. Kini giliran Azhar yang terkejut, dan mau tidak mau dia akhirnya menjadi KM di kelasku saat itu, sedagkan aku menjadi wakilnya. Kami berdua sangat kompak, wali kelas pun sampai mempercayai kami untuk menjadi “tangan kanan” beliau di kelas, kami harus melaporkan setiap kejadian yang terjadi di kelas pada beliau.
Aku pun mampu meningkatkan prestasiku, meski di caturwulan pertama aku masih duduk di peringkat ketiga, namun di sisa dua catur wulan selanjutnnya aku mampu meraih peringkat kedua.
Beberapa hal yang baru, aku alami saat itu, termasuk saat aku mulai tertarik pada lawan jenis. Sensasinya terasa aneh, tapi enak juga sih. Tapi hal itu tidak berlangsung lama, setelah beberapa bulan “jadian” aku dan dia putus hubungan cinta, boleh ditambah monyet. Aku pun miris melihat siswa SMP bahkan SD saat ini yang sangat senang melakukan hal-hal yang belum layak dilakukan. Betapa tidak, wacana yang terdapat dalam otak mereka tidak lagi menjadi anak yang rajin belajar yang kemudian bisa membuat bangga orang tuanya. Mereka lebih berlaku hedonis, yang terfikir adalah bagaimana caranya saya bisa meraih kesenangan meskipun hanya untuk sesaat. Itulah dampak dari rencana besar musuh peradaban, yang kian hari kian tampak keberhasilannya merusak mindset generasi muda bangsa kita. Di semua lini kehidupan generasi muda berhasil mereka masuki, mulai dari fashion, film, fun, freethinker, food, dan lain sebagainya. Kalau kita sebagai orang tua tidak segera sadar akan bahaya yang mengancam, maka tunggulah akibat puncaknya. Bila kita generasi muda enggan untuk sadar dan merenungi semuanya, maka rasakanlah masa depanmu yang suram.
Di kelas dua aku pernah mengikuti seleksi siswa teladan, bukan karena aku pintar, melainkan karena aku aktif di organisasi. Kemampuanku berbahasa Inggris lebih diasah saat aku masuk lembaga pendidikan bahasa Inggris. Aku pun terpilih menjadi Ketua Umum OSIS saat aku beranjak Kelas 3 SMP. Banyak keuntungan yang didapat, mulai dari popularitas, hingga pengalaman-pengalaman menarik dan membangun.

Semasa SMK

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tidak terasa usiaku semakin bertambah. Hingga aku akhirnya memasuki fase pembentukan karakter yang lebih intens. Saat inilah aku dituntut untuk lebih bijak menghadapi segalanya. Sebagaimana yang diinginkan oleh setiap orang tua, bapakku menyekolahkan aku di sekolah yang bisa menjamin masa depan bagi anaknya. Maka ayahku menyekolahkanku di sebuah SMK Negeri yang cukup terkemuka dan menjadi favorit. STM Negeri Pembangunan Bandung yang kini berubah nama menjadi SMK Negeri 1 Cimahi ini berbeda dengan SMK-SMK lainnya. Sekolah ini memiliki jangka pendidikan yang lebih lama, yakni empat tahun. Terletak di Jalan Leuwi Gajah Cimahi, sekolah ini memiliki luas yang cukup besar. Banyak pohon yang tumbuh di setiap sudutnya, juga lapangan olah raga yang terbilang cukup lengkap menambah gairah kita untuk belajar di sekolah ini.
Awalnya aku ingin bersekolah di SMUN 3 Bandung, sebuah SMU favorit pertama se-Bandung, tapi ternyata NEM-ku tidak memadai. Tadinya aku ingin mencari tempat sekolah yang baru, tidak selalu di Kota Cimahi, tapi inilah barangkali rahasia Allah untukku. Yang kemudian aku pikirkan saat itu adalah, aku harus menjadi lebih baik dari masa aku di SMP, serta membuat keluargaku bangga. Where ever, when ever just do your best!!!
Tujuan setiap pendidikan adalah menjadikan manusia seutuhnya, dan memanusiakan manusia. Dan setiap komponen dari pendidikan itu harus senantiasa beriringan (sinergy), mulai dari sarana dan prasarana yang lengkap dan memadai, tenaga pengajar (yang bukan hanya pentransfer ilmu) yang profesional dan bertanggung jawab, serta peserta didik yang rajin (high of fighting spirit), taat aturan, dan konsekuen.
Keharusan untuk mengikuti kegiatan ekstrakulikuler membuat aku “terpaksa” masuk ke dalam organisasi PMR (Palang Merah Remaja). Wah, latihan dan pendidikan yang aku terima di organisasi ini sungguh berbeda dengan organisasiku di SMP. Latihan dan Pendidikan fisik yang keras, serta pembinaan mental yang terkesan menakutkan, aku alami pada awal-awal mengikuti organisasi ini. Lambat namun pasti, semua itu aku nikmati, barangkali inilah dunia nyata yang harus aku hadapi kelak di masa depan nanti. Betapa tantangan global semakin mengancam dan menantang kita untuk bisa menghadapi dan menaklukkannya. Dengan menikmati setiap pemberian Allah, kita bisa menjadi orang yang paling bersyukur dan paling bersabar.
Organisasi merupakan wadah yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan, ilmu-ilmu yang bisa kita dapatkan diantaranya ilmu kepemimpinan, keorganisasian, manajemen, dan ilmu – ilmu lain yang melatih kita untuk dapat berkembang dan terbiasa memecahkan suatu permasalahan. Intinya pada saat kita memasuki sebuah organisasi sekolah ataupun kampus, hal itu harus menunjang pada tujuan inti kita, yakni menjadi manusia seutuhnya.
Dengan berdagang macam-macam barang/produk, aku berusaha untuk melatih jiwa enterpreneurship. Kaset nasyid, minyak wangi non-alkohol, nasi kuning, batagor, adalah komoditas-komoditas yang pernah melintas dalam kegiatan wirausahaku. Memang hasilnya sedikit, tapi yang terpenting adalah pengalaman.
Lingkungan sekolahku sungguh agamis, terbukti dengan banyaknya kegiatan keagamaan dan para siswanya yang baik-baik dan alim-alim, termasuk aku, narsis sedikit ga apa-apa ya. Kondisi sekarang, banyak orang yang melakukan kejahatan atau keburukan dengan terang-terangan tanpa rasa malu lagi. Untuk melakukan kebaikan kita harus lebih berani dan lebih terang-terangan, jangan ada rasa malu sedikit pun. Sebuah lingkungan bisa membentuk karakter seseorang. Kita bisa merubah seseorang hanya dalam waktu kurang dari satu jam dengan konsep lingkungan. Coba renungkan ilustrasi berikut :
Si Kabayan hendak pergi ke Singapura, ia pergi ke sana menggunakan kapal air. Di pelabuhan, setelah membeli tiket, dia berdiri menunggu kapal yang akan segera datang. Sambil ia berdiri, ia pun membakar sebatang tongkat lemas berwarna putih dan dia masukkan berkali-kali ke dalam mulutnya, terkadang mulutnya pun mengeluarkan asap putih tanpa memperhatikan sekitarnya. Ia terlihat begitu menikmati aktifitasnya itu. Kemudian kapal pun tiba, dengan bergegas ia membuang sisa tongkat lemas berwarna putih yang ia bakar tadi dan berlari menuju pintu kapal. Para calon penumpang pun berdesakan, mereka ingin menaiki kapal dengan segera sehingga terkadang tidak menghiraukan orang lain, bahkan dompetnya. Para pencopet pun melakukan aksinya. Si Kabayan pun telah naik ke atas kapal dan segera mencari tempat duduk. Sesampainya di Singapura, ia pun bersiap-siap untuk turun. Kemudian ia pun berbaris mengantri untuk turun dari kapal, begitu tertib, tidak ada yang saling mendahului. Setelah turun dari kapal, Si Kabayan ingin kembali membakar sebatang tongkat lemas berwarna putih dan masukkannya berkali-kali ke dalam mulutnya, tapi sebelum itu ia menengok ke sana kemari, ia takut di sana ada larangan untuk melakukan hal itu. Ternyata tidak ada, ia pun melakukannya. Tapi setelah ia puas dan hendak akan membuang sisa tongkat lemas berwarna putih yang ia bakar, ia kembali mengok ke sana kemari, ia takut ada larangan, ternyata ada, ia pun mencari tempat sampah dan membuangnya di sana.

Dahsyat, lingkungan bisa merubah siapapun dengan segera. Kerawanan moral dan etik itu muncul semakin transparan dalam bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi mutakhir seperti siaran televisi, keping-keping VCD, jaringan Internet, dan sebagainya. Kemaksiatan itu senantiasa mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, seperti maraknya perjudian, minum minuman keras, dan tindakan kriminal, serta menjamurnya tempat-tempat hiburan, siang atau malam, yang semua itu diawali dengan penjualan dan pendangkalan budaya moral dan rasa malu.
Tidak asing lagi, akhirnya di negeri yang berbudaya, beradat dan beragama ini, kemaksiatan yang berhubungan dengan apa yang dinamakan sex industry juga mengalami kemajuan, terutama setelah terbukanya turisme internasional di berbagai kawasan, hingga menjamah wilayah yang semakin luas dan menjarah semakin banyak generasi muda dan remaja yang kehilangan jati diri dan miskin iman dan ilmu. Hal yang terakhir ini semakin buruk dan mencemaskan perkembangannya karena hampir-hampir tidak ada lagi batas antara kota dan desa, semuanya telah terkontaminasi dalam eforia kebebasan yang tak kenal batas.
Ledakan-ledakan informasi dan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang itu tidak boleh kita biarkan lewat begitu saja. Kita harus berusaha mencegah dan mengantisipasi dengan memperkuat benteng pertahanan aqidah yang berpadukan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit korban yang berjatuhan yang membuat kemuliaan Islam semakin terancam dan masa depan generasi muda semakin suram. Apabila kita tetap lengah dan terbuai oleh kemewahan hidup dengan berbagai fasilitasnya, ketika itu pula secara perlahan kita meninggalkan petunjuk-petunjuk Allah yang sangat diperlukan bagi hati nurani setiap kita.
Sudah saatnya aku merenungkan setiap kejadian dalam kehidupanku dan menata kembali masa depan yang pasti menjelang. Aku tidak mau diperdaya oleh waktu. Akulah penguasa waktu, harta terbesar yang dimiliki oleh setiap orang, namun seringkali tidak dihiraukan. Kita benahi segalanya selagi kesempatan itu masih ada. Selamat berjuang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar