Minggu, 28 November 2010

Sejarah Pembukuan Al-Qur’an

-ibn akhdhar-

i. Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah ayat Al-Qur’an yang turun dihafal oleh beliau “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (QS Al-Qiyamah [75] : 17-18). Oleh karena itu beliau merupakan hafidz (penghafal) Al-Qur’an yang pertama dan maha guru pemberi contoh panutan paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Dalam sahih Bukhary dalam tiga riwayat disebutkan ada tujuh hafidz dari kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an, yaitu :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
Ke-tujuh penghafal Al-Qur’an diatas adalah para sahabat yang hafal Al-Qur’an diluar kepala yang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanadnya sampai kepada kita melalui riwayat Bukhary. Sedangkan kenyataannya setelah Rasulullah wafat, jumlah penghafal (hafidz) Al-Qur’an dikalangan sahabat terus bertambah. Untuk melukiskan hal itu dapat diketahui dari keterangan Al-Qurtubi : “Telah terbunuh tujuh puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam peristiwa pembunuhan di sumur Maa’unah”.
Rasulullah telah mengangkat beberapa penulis Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti : Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila ayat Al-Qur’an turun beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut didalam surat, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati (diluar kepala). Disamping itu sebagian sahabat menuliskan ayat Al-Qur’an yang turun itu dengan kemauan sendiri tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskan ayat Al-Qur’an pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit binatang atau kulit kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Dalam Al Mustadrak, Hakim meriwayatkan bahwa Zaid Bin Tsabit berkata : “kami menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada kulit binatang” (sanad sahih menurut syarat Bukhary dan Muslim).
Pada masa Rasulullah Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf, karena pada masa kenabian wahyu masih turun dan Rasulullah masih selalu menanti turunnya ayat Al-Qur’an, disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang nasikh (dihapus). Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi, yaitu beliau menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Al-Khattabi berkata : “Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya”.
ii. Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Saat itu hampir seluruh kabilah-kabilah Arab kembali murtad dan sebagian membangkang menolak membayar zakat, karena mereka mengira kekuatan Islam sudah pudar setelah meninggalnya Rasulullah. Untuk mengatasi kemurtadan dan pembangkangan khabilah-khabilah Arab itu Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan untuk menundukkan mereka dan menyeru kembali kepada Islam yang dikenal sebagai “perang ridah”.
Disamping itu di daerah Yamamah –Arab Selatan- muncul Musailamah Al-Khazab –sang pendusta- yang mengaku sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar memeranginya yang dikenal sebagai “perang Yamamah”. Pada berbagai peperangan-peperangan tersebut banyak qari dan pengahafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat nabi yang gugur. Umar Bin Khattab yang merupakan penasehat utama Khalifah Abu Bakar merasa khawatir Al-Qur’an akan punah bersama banyaknya qari yang gugur tersebut. Umar Bin Khattab mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf.
Mula-mula Khalifah Abu Bakar menolak usulan itu dengan alasan hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah dan hal itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah. Tetapi Umar terus membujuk Khalifah Abu Bakar tentang perlunya pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan umar tersebut. Khalifah Abu Bakar kemudian memanggil Zaid Bin Tsabit dan memerintahkannya untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Zaid Bin Tsabit berkata : “Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ?” Abu Bakar menjawab : “Demi Allah, itu baik”, Abu Bakar terus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku”.
Maka Zaid Bin Tsabit mulai bekerja mengumpulkan tulisan manuskrip Al-Qur’an dengan sangat teliti dan hati-hati. Zaid Bin Tsabit meneliti hafalan pemilik catatan Al-Qur’an dan mensyaratkan harus ada 2 orang saksi yang menyaksikan bahwa tulisan manuskrip Al-Qur’an itu ditulis dihadapan Rasulullah, padahal Zaid Bin Tsabit sendiri sudah hafal seluruh Al-Qur’an diluar kepala. Dengan kerja keras, teliti dan hati-hati akhirnya seluruh Al-Qur’an berhasil dikumpulkan dalam satu mushaf dengan “tujuh huruf”.
Setelah Abu Bakar wafat, Mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah penggantinya yaitu Umar Bin Khattab. Setelah Khalifah Umar meninggal, Mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah Binti Umar.

C. Masa Khalifah Usman Bin Affan ra.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar kaum muslimin telah melakukan penaklukan ke negeri-negeri diluar jazirah Arab seperti, Syam, Iraq, Persia dan Mesir. Pada masa Khalifah Usman penaklukan masih terus berlangsung.
Ketika terjadi perang penaklukan Armenia dan Azerbaijan, diantara mujahidin yang ikut menyerbu itu adalah sahabat nabi Huzaifah Bin Al-Yaman. Beliau melihat banyak perbedaan diantara pasukan kaum muslimin dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan bersikukuh berpegang pada bacaannya masing-masing dan bahkan sempat saling berselisih dan saling mengkafirkan.
Riwayat dari Anas, Huzaifah berkata kepada Usman : “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (masalah kitab suci) sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani”.
Atsar dari Abu Qalabah berkata : “Pada masa kekhalifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat kepada seseorang dan guru yang lain juga mengajarkan qiraat yang berbeda kepada anak yang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat ini pada suatu ketika bertemu dan berselisih dan hal itu menjalar juga sampai kepada guru-guru mereka”. Hal itu akhirnya sampai terdengar kepada Khalifah Usman, maka ia berpidato : “Kalian yang ada dihadapanku teah berselisih paham dan salah dalam membaca Al-Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf pedoman) saja !”.
Khalifah Usman kemudian meminjam mushaf yang ada pada Hafsah binti Umar dan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin Ash dan Abdurrahman Bin Haris untuk menyalinnya. Usman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu : “Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid Bin Tsabit tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Merekapun bekerja menyalin Mushaf Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Khalifah Usman mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya Khalifah Usman mengirimkan kesetiap wilayah, masing-masing satu mushaf dan memerintahkan agar semua manuskrip Al-Qur’an yang lainnya dibakar.
Ketika penyalinan mushaf telah selesai, Khalifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang isinya : “Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu”.
Uraian diatas menunjukkan bahwa penyalinan mushaf pada masa Khalifah Usman ditulis dengan “satu huruf” yaitu sesuai dengan dialek Quraisy dan meninggalkan “enam huruf” yang lainnya, hal itu untuk keseragaman dan menghindari perselisihan. Mushaf Usmani inilah yang kemudian dinukil turun temurun secara mutawatir sampai kepada kita sekarang ini.
Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al Qur’an. As Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.”
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah mushaf Usmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’ kemudian Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat) adalah tertib susunan surah mushaf Usman yang dikerjakan secara resmi oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud, Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Malakikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Usman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada as-sab’ut tiwal (tujuh surat panjang) ?’, Usman menjawab : ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan mengatakan : ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengirabahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmaanirrahim sera aku meletakkan pula pada as-sab’ut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu : Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf , ketujuh : Al-Anfal dan At-Taubah sekaligus, sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh surah Yunus.
2. Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratur atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih bnayak dari At-Tiwal dan Al-Mi’un.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujarat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) dinatara surah-surah tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm Usmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan Khalifah Usman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani ini ada beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Usmani adalah taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Qur’an yang menyalahi rasm Usmani.
I’jam (penambahan tanda titik, dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa (double). Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwain tidak diberi tanda apa apa ketika idgam dan ikkhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah; keculai huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampuradukkan dengan apapun”. Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf” sedangkan pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Al Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”. An-Nawawi mengatakan : “Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf daru kesalahan dan penyimpangan (pembacaan)”. Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak yang mengemukakan hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.’ Beliau menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar.’”
Hadis-hadis berkenaan dengan Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf, diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Qur’an mencakup dari tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di seluruh Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata benda), i’rab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
Hikmah Al-Qur’an dengan tujuh huruf :
1. Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti Al-Qur’an, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukumdan ijtihad ber hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar