Minggu, 28 November 2010

Muhkam (jelas) – Mutasyabih (samar) & Kaidah Amr (perintah) – Nahi (larangan)

-ibn akhdhar-

Muhkam (jelas) – Mutasyabih (samar)

Ayat Al-Qur’an yang muhkam artinya : jelas dan mudah diketahui maknanya. Sedangkan ayat Al-Qur’an yang mutasyabih artinya : samar dan tidak mudah diketahui maknanya.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat yang muhkam dengan ayat-ayat yang nasikh (menghapus) dan masih berlaku hukumnya, ayat-ayat tentang halal-haram, akidah (rukun iman), tauhid, hudud (hukuman), kewajiban (ibadah, rukun Islam), janji (pahala, ampunan, surga) dan ancaman (dosa, laknat, azab neraka), itulah pokok-pokok agama (ushul) karena ayat-ayatnya muhkam (jelas dan tidak diperselisihkan) maka menjadi perkara yang qoth’i (pasti).
Sedangkan contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.
3. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
4. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
5. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb
6. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
7. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Menurut Ibnu Abbas, tafsir ayat Al-Qur’an itu ada empat macam :
1. Tafsir yang dipahami oleh orang-orang Arab karena kelaziman bahasanya.
2. Tafsir yang harus diketahui oleh semua orang yaitu tentang akidah, ibadat dan halal-haram.
3. Tafsir yang hanya diketahui oleh ulama yang mendalam ilmunya.
4. Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah.
Ayat-ayat mutasyabih termasuk dalam point ke-3 dan ke-4 yaitu ada yang diketahui tafsirnya oleh ulama yang mendalam ilmunya dan ada yang hanya diketahui tafsirnya oleh Allah saja. Ayat-ayat mutasyabih ini hanya sebagian kecil saja dari seluruh Al-Qur’an, sebagian besar ayat-ayat Al-Qur’an adalah muhkam.
Firman Allah dalam QS Ali-Imran [3] : 7
“Dialah yang telah menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat muhkam yang merupakan induk (agama) dan lainnya mutasayabih. Adapun orang-orang yang dalam harinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabih untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah. Dan orang yang mendalam ilmunya berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”.
Imam Malik pernah ditanya tentang makna istiwa’ (bersemayam) nya Allah diatas ‘Arsy, maka beliau menjawab : “maksud istiwa’(bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan bagaimana caranya adalah bid’ah”.
Hikmah adanya ayat Mutasyabih :
1. Menegaskan kemukjizatan Al-Qur’an, yaitu dalam balagah dan bayan.
2. Mendorong umat untuk menuntut ilmu yang banyak dan mendalam.
3. Merangsang penggunaan kemampuan berpikir.
4. Menjadi ujian bagi mukmin, apakah ada yang cenderung mengada-ada mencari ta’wilnya atas dasar hawa nafsu.

Kaidah Amr (perintah) – Nahi (larangan)

Amr (perintah)
Amr berarti perintah atau suruhan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah kepada manusia.
Hukum lafazh amr :
1. Asal dari suatu perintah itu adalah menunjukkan wajib.
2. Makna wajib bisa berpaling dari makna wajib ke makna lain, apabila terdapat petunjuk (qarinah) yang menghendaki makna lain tersebut, baik qarinah tersebut berupa susunan bahasa atau tuntutan maknanya secara keseluruhan maupun karena nash lain yang menuntut perpalingan makna.
3. Asal dari suatu perintah tidak menuntut adanya pengulangan, kecuali bila terdapat dalil yang menunjukkan kebalikannya. Misalnya QS Al-Maidah [5] : 6 : “Dan jika kamu junub, maka mandilah.” Perintah mandi berlaku berulang bila penyebabnya yaitu “junub” berulang.
Bentuk – bentuk amr :
1. Menggunakan kata kerja perintah (fi’il amr), seperti pada QS [4] : 4 :
“Dan berikanlah kepada perempuan (Dalam perkawinan) mas kawinnya dengan ikhlas; tetapi jika dengan senang hati mereka memberikan sebagian darinya kepadamu, terimalah dan nikmatilah pemberiannya dengan senang hati”.
2. Menggunakan fi’il mudhari’ dengan didahului lamul-amr, seperti dalam QS [3] : 104 :
“Hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang mengajak kepada kebaikan, menyuruh orang berbuat yang ma’ruf dan melarang perbuatan mengkar. Mereka inilah orang yang beruntung”.
3. Bentuk isim fi’il amr, seperti pada QS [5] : 105 :
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk”.
4. Masdar pengganti fi’il, seperti pada QS [2] : 83 :
“Dan ingatlah ketika Kami menerima ikrar dari Bani Israil : tidak akan menyembah selain Allah, berbuat baik kepada orangtua dan kerabat, kepada anak yatim dan orang miskin dan berbudi bahasa kepada semua orang; dirikanlah shalat dan tunaikan zakat. Tetapi kemudian kamu berbalik, kecuali sebagian kecil diantara kamu dan kamu (masih juga) menentang”.
5. Kalimat berita yang mengandung arti perintah atau permintaan, seperti pada QS [2] : 228 :
“Perempuan-perempuan yang dicerai harus menunggu tigak kali quru’ “.
6. Kalimat yang mengandung kata amar, fardhu, kutiba, ‘ala yang berarti perintah.
Kategori amr :
1. Amr menunjukkan wajib, seperti pada QS [4] : 77 :
“Dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat”.
Ayat tersebut menunjukkan shalat adalah wajib dan yang meninggalkannya adalah dosa.
2. Amr menunjukkan sunah, seperti pada QS [24] : 33 :
“Buatlah perjanjian yang demikian, jika kamu ketahui mereka baik”.
Ayat ini menunjukkan perintah tanpa kewajiban, tetapi baik sekali bila dikerjakan.
3. Amr tidak menghendaki pengulangan pelaksanaan, seperti pada QS [2] : 196 :
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah”.
Ayat ini mengandung pengertian bahwa mengerjakan haji dan umrah itu diwajibkan satu kali saja seumur hidup.
4. Amr menghendaki pengulangan, seperti pada QS [5] : 6 :
“Dan bila kamu sedang dalam keadaan junub maka bersihkan dengan mandi penuh”.
5. Amr tidak menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 184 :
“Jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, maka (berpuasalah) sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain”.
6. Amr menghendaki kesegeraan, seperti pada QS [2] : 148 :
“Masing-masing mempunyai tujuan, ke sanalah Ia mengarahkannya; maka berlombalah kamu dalam mengejar kebaikan”.
7. Perintah yang datang setelah larangan bermakna mubah, seperti pada QS [5] : 2 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu langgar lambang-lambang Allah. Tetapi bila kamu selesai menunaikan ibadah haji, berburulah”.
B. Nahi (larangan)
Nahi berarti larangan atau cegahan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya, yaitu dari Allah kepada manusia.
Hukum lafazh nahi :
1. Asal dalam larangan adalah menunjukkan haram.
2. Makna haram bisa berpindah ke makna lain apabila ada petunjuk (qarinah) yang menghendaki peralihan ke makna lain tersebut, baik qarinahnya itu berupa tuntutan makna yang dapat dipahami dari susunan bahasanya, maupundari nash lain yang menunjukkan tuntutan terhadap perpalingan makna itu.
3. Lafazh nahi menghendaki larangan secara kekal dan spontan. Sebab yang dilarang itu tidak terwujud kecuali apabila larangan itu bersifat kekal. Para ahli ushul menyebutkan : “Menurut asalnya nahi yang mutlak itu menuntut kesinambungan untuk semua masa.”
Bentuk-bentuk Nahi :
1. Fi’il nahi, seperti pada QS [17] : 31-34 :
“Janganlah kamu bunuh anak-anakmu karena takut kekurangan… Dan jangalah kamu mendekati perbuatan zina; sungguh itu perbuatan keji dan jalan yang buruk. Dan janganlah kamu menghilangkan nyawa yang diharamkan oleh Allah, kecuali demi kebenaran… Janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali untuk memperbaikinya, sampai ia mencapai umur dewasa”.
2. Menggunakan lafazh utruk (biarkanlah), seperti pada QS [44] : 24 :
“Dan biarkanlah laut terbelah, sebab mereka tentara yang akan ditenggelamkan”.
3. Menggunakan lafazh da’ (tinggalkanlah), seperti pada QS [33] : 48 :
“Dan janganlah kau turuti orang-orang kafir dan kaum munafik, tinggalkanlah (janganlah kau hiraukan) gangguan mereka; tetapi tawakallah kepada Allah; sebab cukuplah Allah sebagai pelindung”.
4. Menggunakah lafazh naha (dilarang), seperti pada QS [59] : 7 :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu terimalah, dan apa yang dilarang tinggalkanlah. Bertaqwalah kepada Allah; Allah sangat keras dalam menjatuhkan hukuman”.
5. Menggunakan lafazh harrama (diharamkan), seperti pada QS [7] : 33 :
“Katakanlah, Tuhanku mengharamkan segala perbuatan keji, yang terbuka atau tersembunyi, dosa dan pelanggaran hak orang tanpa alasan; mempersekutukan Allah, padahal Ia tak memberi kekuasaan untuk itu, dan berkata tentang Allah yang tidak kamu ketahui”.
Ragam pemakaian nahi beserta makna dan tujuannya :
1. Larangan yang menunjukkan haram, seperti pada QS [17] : 32
“Dan janganlah kamu mendekati zina”.
2. Larangan yang menunjukkan makruh, seperti pada HR Tirmidzi :
“Janganlah kamu shalat dikandang unta” (HR Tirmidzi).
3. Larangan yang mengandung perintah melakukan yang sebaliknya, seperti pada QS [31] : 13 :
“Ingatlah ketika Luqman berkata kepada putranya sambil ia memberi pelajaran, “Hai anakku ! Janganlah menyekutukan Allah; menyekutukan Allah sungguh suatu kedzaliman yang besar”.
4. Nahi bermakna doa, seperti pada QS [2] : 286 :
“Ya Tuhan kami, janganlah menghukum kami jika kami lupa atau melakukan kesalahan; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami suatu beban berat seperti yang Engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami; Ya Tuhan kami, janganlah memikulkan kepada kami beban yang tak mampu kami pikul”.
5. Nahi bermakna bimbingan, seperti pada QS [5] : 101 :
“Hai orang yang beriman! Janganlah tanyakan sesuatu, yang bila diterangkan menyusahkan kamu”.
6. Nahi menegaskan keputusasaan, seperti pada QS [66] : 7 :
“Hai orang-orang kafir! Janganlah kamu berdalih hari ini! Balasan yang akan kamu peroleh hanyalah atas apa yang kamu kerjakan”.
7. Nahi untuk menenteramkan, seperti pada QS [9] : 40 :
“Jangan sedih, Allah beserta kita”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar