Minggu, 28 November 2010

Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus & Nasikh – Mansukh

-ibn akhdhar-

Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus

Dikalangan umat Islam berkembang klaim universalitas dan supremasi Islam yang berlaku melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Qur’an sebagai sumber pedoman. Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Dari sekian banyak ayat-ayatnya, para ulama menyatakan harus dipahami dalam konteks asbabun nuzulnya, karena ayat tersebut berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan kenyataan tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan turunnya ayat.
Dalam kaitannya dengan asbabun nuzul, sebagian besar ulama berpegang pada kaidah “al ‘ibrahu bi ‘umumil lafzh la bikhususin asbab” (yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab), sedangkan sebagian kecil berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al ‘ibratu bikhususus sabab la bi ‘umumil lafzh: (yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab bukan pada keumuman lafazh).
Apabila dijumpai ayat-ayat Al-Qur’an berkaitan dengan suatu hukum, yang konteks pembicaraannya bersifat khusus terhadap kasus tertentu, sedangkan teksnya bersifat umum, maka ketentuan itu tidak hanya terbatas pada kasus tersebut, tetapi berlaku umum pada setiap kasus yang mempunyai persamaan dengan kasus khusus tersebut. Inilah maksud kaidah “yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab”.
Dalam memahami kaidah diatas, pendukung kaidah ini berpandangan bahwa asbabun nuzul pada hakikatnya hanyalah salah satu sarana bantu yang menampilkan contoh untuk menjelaskan makna redaksi ayat Al-Qur’an. Sedangkan redaksi yang bersifat umum itu ruang lingkupnya tidak terbatas pada kasus khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat.
Pemahaman semacam ini didasarkan atas kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi setiap generasi, sejak masa turunnya sampai dengan hari kiamat, dalam setiap tempat dan situasi.
Pendapat kaidah ini dipandang rajih (lebih kuat) dan lebih tepat, sesuai dengan umumnya hukum-hukumsyariat dan telah diberlakukan oleh para sahabat dan imam mujtahid. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.
Contoh penerapan kaidah tersebut dalam memahami ayat yang memiliki asbabun nuzul tertentu, dalam hal ini QS An-nur [24] : 6, adalah sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan kepada istri-istri mereka, sedang mereka tak punya saksi selain diri mereka sendiri, maka kesaksian orang itu empat kali sumpah (dengan sekali bersumpah) demi Allah, bahwa sungguh dia berkata benar.”
Ayat ini turun berkaitan dengan tuduhan yang dilemparkan Hilal Ibnu Umayyah kepada istrinya, akan tetapi sebagai mana terlihat, bunyi ayat ini bersifat umum. Menurut penganut kaidah “keumuman lafazh bukan ke khususan sebab” dengan demikian ketentuan hukumnya tidak hanya berlaku bagi Hilal saja, tetapi juga berlaku bagi semua orang yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa saksi.
Adapun penganut kaidah “kekhususan sebab bukan keumuman lafazh” lebih menekankan perlunya analogi (qiyas) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang turunnya ayat (asbabun nuzul)itu, jika qiyas tersebut memenuhi syarat-syaratnya.
Allah berfirman dalam QS Al-Maidah [5] : 38-39 :
“Adapun mengenai pencuri, laki-laki dan perempuan, potonglah tangannya sebagai hukuman atas perbuatannya, sebagai pelajaran dari Allah. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Tetapi barang siapa bertobat setelah berbuat jahat dan memperbaiki diri, maka Allah akan menerima tobatnya, Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.”
Asbabun nuzul turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Ahmad dan lain-lain yang bersumber dari Abdullah bin Umar, bahwa seorang wanita mencuri di zaman Rasulullah, kemudian dipotong tangannya yang kanan. Wanita tersebut bertanya, “Apakah diterima tobatku, ya Rasulullah ?” Maka Allah menurunkan ayat berikutnya QS [5] : 39 yang menegaskan bahwa tobat seseorang akan diterima Allah apabila ia memperbaiki diri dan berbuat baik.
Bila saklek berpegang pada kaidah “keumuman lafazh bukan pada ke khususan sebab”maka akan ada kecenderungan memahami ayat tersebut secara tekstual, bahwa ketetapan hukum potong tangan bagi seorang pencuri itu berlaku umum disegala situasi dan tempat, dengan mengabaikan konteks situasi sosial yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut, sehingga relevansi ketetapan hukum kurang mendapat perhatian. Padahal perubahan waktu dan situasi yang meliputi meniscayakan perubahan hukum. Ketika ayat tersebut tidak diterapkan dalam suatu masyarakat, seperti ijtihad Umar bin Khattab pada masanya, tidak memotong tangan pencuri dimasa paceklik, apakah lantas dipahami bahwa Umar bin Khattab telah meninggalkan ayat tersebut, atau ayat disesuaikan dengan situasi kondisi ?
Cara pandang ekstrim demikian akan muncul bila asbabun nuzul dipahami sebatas peristiwa dan pelakunya. Apabila ia dipahami secara komprehenship, meliputi waktu, tempat, situasi dan kondisi sosial-budaya yang melatarbelakangi turunnya ayat, kemudian dicoba dicari tujuan-tujuan syariah dan mashlahah mursalah yang menjadi ruh ayat tersebut, maka akan dapat melahirkan perkembangan dalam penafsiran yang lebih tepat.

Nasikh – Mansukh

Nasikh adalah penghapusan lafazh atau hukum suatu nash syara’, sedangkan mansukh adalah nash syara’ yang dihapus lafazh atau hukumya.
Firman Allah dalam QS Al-Baqarah [2] : 106 :
“Apa saja ayat-ayat yang kami nasakh, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya, atau kami datangkan yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Macam-macam naskh dalam Al-Qur’an :
1. Naskh lafaz dan hukum.
Riwayat Ismail bin Ahmad dari Abu Umamah bin Sahl bin Hanif, bahwa telah ada sekelompok orang sahabat Nabi yang memberitahu dia tentang seorang laki-laki diantara mereka yang tidak tidur pada tengah malam. Dia bermaksud untuk membuka catatan sebuah surah yang sebelumnya dia hafal. Ternyata dia tidak menjumpai tulisan surah itu kecuali hanya tulisan “Bismillahirrahmanirrahim”. Maka pada keesokan harinya dia datang ke rumah Nabi untuk menanyakan hal tersebut. Ternyata ada juga beberapa orang yang datang kepada Nabi sehingga mereka berkumpul menjadi beberapa orang. Mereka saling menanyakan antara yang satu dengan yang lain. Mereka juga saling menceritakan pengalaman yang dialami masing-masing tentang tulisan surat yang tiba-tiba hilang. Beberapa saat kemudian Nabi menerima mereka dan mendengarkan penuturan mereka. Kemudian Nabi terdiam sejenak, setelah itu beliau bersabda : “Tadi malam surat tersebut telah di nasakh. Maka hafalan surah itupun dinasakh dari dada mereka (yang telah hafal) dan juga dari benda apapun yang mengabadikan rasm (tulisan) surah tersebut”.
Riwayat dari Ibnu Mas’ud : “Telah diturunkan sebuah ayat Al-Qur’an kepada Rasulullah saw. sehingga saya mencatatnya didalam mushafku. Namun pada suatu malam ternyata permukaan mushaf itu hanya berwarna putih (hilang tulisannya), maka saya menceritakan hal tersebut kepada Nabi, ternyata beliau bersabda : “Tidakkah kamu tahu bahwa ayat tersebut telah diangkat (dinasakh) tadi malam”.
Muslim meriwayatkan dari Aisyah : “Diantara yang diturunkan kepada beliau (Nabi) adalah ‘sepuluh susuan yang maklum itu menyebabkan muhrim”. Lafazh Ayat tersebut telah dinasakh dengan ayat “Lima susuan yang maklum”. Jadi lafazh ‘Sepuluh susuan’ telah dinasakh dengan ayat lain yang ber lafazh ‘Lima susuan’. Demikian juga hukum lima susuan telah menasakh hukum sepuluh susuan yang menyebabkan menjadi muhrim.
2. Naskh lafaz sedang hukumnya tetap.
Yaitu lafazh ayat dihapus dari mushaf, tapi hukumnya tetap berlaku. Contohnya tentang hukum rajam bagi pezina muhson.
Riwayat dari Said bin Al-Musayyab : “bahwa Umar bin Khattab telah berkata : “…Mengenai ayat tentang rajam, maka janganlah sampai kalian tidak mengetahuinya, karena sesungguhnya Rasulullah saw. telah menerapkan hukuman rajam, begitu juga dengan kami, kami telah mempraktekkannya. Ayat tentang rajam itu benar-benar telah diturunkan. Ayat rajam yang kami baca, “Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan (maksudnya yang sudah menikah) jika sampai melakukan perbuatan zina, maka rajamlah keduanya dengan pasti”. Kalau bukan karena khawatir orang-orang akan mengatakan Umar telah menambahkan sebuah ayat dalam kitab Allah, pasti saya telah menulis ayat itu dengan tanganku sendiri (dalam mushaf Al-Qur’an)””.
3. Naskh hukum sedang lafaznya tetap.
Yaitu lafazh ayat yang dihapus (mansukh) masih tetap ada dalam mushaf, tapi hukumnya telah dihapus oleh ayat yang menghapusnya (nasikh). Ulama terdahulu (abad 1 s.d. 3 H) memperluas konsep nasakh hingga mencakup hal hal :
a. Penghapusan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian (taksish) hukum yang bersifat umum oleh hukum yang meng khususkannya.
c. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar.
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Ulama Mutaakhkhirin mempersempit pengertian nasakh hanya bila meghapuskan hukum yang terdahulu atau telah berakhirnya masa berlaku hukum yang terdahulu sehingga ketentuan yang berlaku adalah hukum yang ditetapkan terakhir. Para ulama masih memperselisihkan adakah ayat Al-Qur’an yang dinasakh hukumnya sedangkan lafazhnya masih ada dalam mushaf. Sebagian berpendapat tidak ada, yaitu : Abu Muslim al-Ashfani, Fakhruddin ar Razi, Muhammad Abduh, dll. Kelompok yang menolak adanya nasakh hukum, mereka menta’wilkan kata “ayat” dalam QS Al-baqarah : 106 dengan “mukjizat” jadi yang di nasakh adalah mukjizat bukan ayat Al-Qur’an.
Adapun kelompok yang menetapkan adanya nasakh, menafsirkan kata “ayat” dengan zahirnya, diantaranya Imam Syafi’i, Imam Syaukani dan As-Suyuthi. Mengenai ayat-ayat yang dinasakh, kelompok yang menetapkan adanya nasakh juga berbeda pendapat. As-Suyuthi menyebutkan ada 21 ayat Al-Qur’an yang dinasakh.
Pembagian Naskh
1. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Semua ulama sepakat kebolehannya, bagi yang menetapkan adanya naskh
2. Naskh Al-Qur’an dengan hadits
a. Naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawatir.
Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad membolehkannya.
b. Naskh Al- dengan hadits Qur’an ahad.
Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan jumhur ulama tidak membolehkan, berdasarkan ayat “Apa saja yang kami nasakh kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya” (QS Al-Baqarah [2] : 106).
3. Naskh hadits dengan Al-Qur’an
Jumhur ulama sepakat membolehkan, contoh Arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunah dinasakh oleh ayat Al-Qur’an, QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram”
4. Naskh hadits dengan hadits
a. Naskh hadits mutawatir dengan hadits mutawatir
b. Naskh hadits ahad dengan hadits ahad
c. Naskh hadits ahad dengan hadits mutawatir
d. Naskh hadits mutawatir dengan hadits ahad
Tiga bentuk pertama dibolehkan, sedang bentuk ke-empat diperselisihkan.
5. Naskh berpengganti dan tidak berpengganti
a. Nasakh tanpa pengganti, contoh :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu” (QS Al-Mujadalah [58] : 12).
Ketentuan ini dinasakh oleh ayat :
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul ? Maka jika kamu tidak memperbuatnya – dan Allah telah memberi taubat kepadamu – maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat”. (QS Al-Mujadalah [58] : 13).
b. Nasakh dengan badal akhtaff, misalnya firman Allah :
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu … “ (QS Al-Baqarah [2] : 187).
Ayat ini menghapus firman Allah :
“…sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu …” (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Karena maksud ayat QS Al-Baqarah [2] : 183 adalah agar puasa kita seperti ketentuan puasa orang-orang terdahulu, yaitu dilarang bercampur dengan istri apabila mereka telah mengerjakan shalat petang atau telah tidur.
c. Nasakh dengan badal mumasil, misalnya penghapusan arah Kiblat ke Baitul Makdis menjadi menghadap ke Masjidil Haram.
“Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram..” (QS Al-Baqarah [2] : 144).
d. Nasakh dengan badal asqal, seperi penghapusan hukuman penahanan rumah, dalam ayat :
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, datangkanlah empat orang saksi dari pihak kamu (untuk menjadi saksi). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai meninggal…” (QS An-Nisa’ [4] : 15).
Ayat tersebut dinasakh dengan ayat tentang hukuman rajam bagi pezina muhson (sudah pernah menikah) atau dera seratus kali bagi pezina yang belum pernah menikah.
Contoh-contoh naskh.
As-Suyuthi menyebutkan dalam Al-Itqan sebanyak dua puluh satu ayat, diantaranya :
1. QS Al-Baqarah [2] : 144 : “Maka palingkanlah mukamu kearah Masjidil Haram”
Ayat ini menasakh arah kiblat ke Baitul Maqdis yang ditetapkan dalam sunnah.
2. QS Al-Baqarah [2] : 180 : “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya …”
Kewajiban berwasiat dalam ayat ini dinasakh oleh ayat tentang hukum waris dan diperkuat oleh hadits. “Sesungghuhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan warisnya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”
3. QS Al-Baqarah [2] : 284 : “Jika kamu melahirkan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.”.
Ayat ini meng isyaratkan Allah akan membuat perhitungan terhadap perbuatan dan lintasan hati manusia. Namun pertanggungjawaban lintasan hati ini dinasakh oleh QS Al-Baqarah [2] : 286 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
4. QS Al-Anfal [8] : 65 : “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh…”
Ayat ini melarang kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh kurang dari sepuluh kali lipat, namun ayat ini di nasakh dengan QS Al-Anfal [8] : 66 :
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang”. Ayat ini membolehkan kaum muslimin mundur dari peperangan bila jumlah musuh lebih dari dua kali lipat.
Namun kelompok yang tidak mengakui adanya nask hukum dalam mushaf Al-Qur’an tetap memberikan argumentasi bahwa ayat-ayat tersebut bukan nasakh, melainkan hanya mentahsis atau bisa dikompromikan atau berlaku menurut masa tertentu atau punya sebab berbeda sehingga hukumnya berbeda.
Hikmah adanya Nasakh :
1. Memelihara kepentingan kaum muslimin.
2. Perkembangan tasyri menuju tingkat kesempurnaan sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi mukallaf, yaitu apakah mengikuti (mempelajarinya) ataukah tidak.
4. Menghendaki kebaikan bagi umat. Jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke yang lebih ringan maka mengandung kemudahan dan keringanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar