Minggu, 28 November 2010

Kaidah Makna Kata (lafazh) & Kaidah Am (umum) – Khas (khusus)

-ibn akhdhar-

Kaidah Makna Kata (lafazh)

A. Makna Hakikah (lahir)
Makna hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).
Hakikah diklasifikasikan menjadi :
1. Lughawiyyah Wadhi’iyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain itu biasa disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata “rajul” yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa.
2. Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :
a. Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena kebiasaan. Misalnya kata “ad-dabbah” (hewan melata) menjadi makna lain yang lebih populer. Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua mahkluk hidup yang melata dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Kemudian digunakan orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat sehingga makna asalnya ditinggalkan.
b. As-Syari’yyah, yaitu kata yang mengalami transformasi makna dari makna asal kepada makna lain yang digunakan oleh pembuat syariat. Karena yang melakukan transformasi adalah yang membuat syariat, maka konotasi maknanya harus berdasarkan dalil syariat. Misalnya kata shalat, zakat, shiyam (puasa), kafir, haji dan lain-lain.
B. Makna Majaz (kiasan)
Makna majaz adalah makna yang digunakan tidak sesuai dengan asal makna kata yang lahir karena ada indikasi yang menghalangi diartikan dengan makna hakiki.
Klasifikasi makna majaz :
1. Isti’arah, yaitu meminjam kata asal untuk digunakan dengan makna baru disebabkan adanya persamaan diantara masing-masing, contohnya wajah yang elok dengan dengan bulan purnama : “wajah anda bagai bulan purnama.”
Isti’arah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Isti’arah Tashrihiyyah, untuk menjelaskan persamaan yang disamakan dengan persamaannya, misalnya pada QS Ibrahim [14] : 1 :
“Alif lam ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju cahaya.”
Kata “gelap-gulita” dipinjam sebagai kiasan untuk kesesatan, kekufuran dan kata “cahaya” dipinjam sebagai kiasan untuk petunjuk, keimanan.
b. Isti’arah Makaniyyah, obyek yang menjadi kiasan dibuang, kemudian digantikan dengan kata yang mencerminkan sifatnya yang dominan, misalnya pada QS Al-Isra’ [17] : 24 :
“Rendahkanlah sayapmu terhadap mereka berdua (ibu-bapak) dengan penuh kash sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.”
Obyek yang menjadi kiasan yang sebenarnya adalah burung, namun kata burung dihilangkan digantikan dengan sifat burung yang dominan yaitu sayap.
c. Isti’arah Takhyiliyyah, menetapkan keberadaan obyek yang menjadi kiasan bagi yang dijadikan kiasan, sehingga pihak yang diseru akan membayangkan bahwa yang dijadikan kiasan tersebut sejenis dengan yang menjadi kiasan. Misalnya pada QS Al-Mulk : [67] : 8 :
“Hampir-hampir (neraka) itu meledak-ledak lantaran marah. Setiap kali dilemparkan kedalamnya sekumpulan (orang-orang) kafir, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan ?”
d. Isti’arah Tamtsiliyyah, ini berupa susunan kata yang tidak digunakan pada tempatnya. Hal itu disebabkan adanya hubungan persamaan, yaitu dengan dihilangkannya wujud persamaannya dari beberapa perkara, misalnya pada QS Al-Mulk [67] : 22 :
“Maka apakah orang yang berjalan dengan muka terjungkal itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap diatas jalan yang lurus ?”
Orang yang berjalan tegap diatas jalan lurus adalah kiasan untuk orang-orang mukmin, sedangkan orang yang berjalan dengan muka terjungkal adalah kiasan untuk orang-orang kafir.
3 Mursal, yaitu jika hubungan antara makna yang digunakan dengan makna yang diletakkan pertama kali tidak mempunyai persamaan. Majaz Mursal dibagi menjadi empat :
a. Juz’iyyah, karena dengan menyebut sebagiannya, Misalnya QS Al-Muzammil [73] : 2
“Bangunlah dimalam hari, kecuali sedikit (daripadanya).”
Bangunlah maksudnya berdirilah, maksudnya berdiri untuk maksud keseluruhannya yaitu shalat, jadi bangunlah adalah majaz untuk shalatlah.
b. Kulliyah, disebut keseluruhan untuk maksud sebagiannya. Contohnya QS Al-Baqarah [2] : 19
“Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati.”
Anak jari adalah keseluruhan jari-jari, padahal yang dimaksud adalah salah satu dari anak jari, karena tidak mungkin seluruh anak jari dimasukkan untuk menyumbat telinga.
c. Sababiyah, menyebut sesuatu sesuai dengan sebutan sebabnya, misalnya pada QS Al-Baqarah [2] : 194 :
“Oleh sebab itu siapa saja yang menyerang kamu, maka seranglah (balaslah) ia seimbang dengan serangannya terhadapmu.”
Kata seranglah adalah kata yang sama dengan kata menyerang sebelumnya, padahal yang dimaksud seranglah adalah balaslah.
d. Musabbabiyah, yang menjadi dasar penyebutan adalah akibatnya, contoh pada QS Al-Baqarah [2] : 61 :
“Oleh sebab itu, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia mengeluarkan bagi kami dari apa yang bumi tumbuhkan, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya, bawang-putihnya, kacang-adasnya dan bawang-merah nya.”
Yang menumbuhkan tumbuhan adalah Allah, namun karena tempat tumbuhnya adalah di bumi maka penyebutan apa yang bumi tumbuhkan, maksudnya adalah apa yang Allah tumbuhkan di bumi itu.
C. Musytarak (ambigu)
Musytarak adalah kata yang mempunyai lebih dari satu arti. Bila dijumpai lafazh musytarak sedapat mungkin dicari penjelasan (bayan) nya, dari ayat Al-Qur’an yang lain maupun dari sunnah (riwayat hadits).
Contoh-contoh lafazh musytarak :
1. QS Al-Baqarah [2] : 228
“Dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Kata “quru’” bisa bermakna haid, bisa bermakna suci (mandi).
2. QS An-Nisa’ [4] : 43 :
“…Atau kamu telah menyentuh perempuan…”
Kata “lamasa” bisa bermakna sentuhan kulit, bisa bermakna bersetubuh.
3. QS Al-Ma’idah [5] : 38 :
“Dan laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya…”
Kata “yad” bisa bermakna : tangan sampai pegelangan, tangan sampai siku, tangan sampai bahu.

Kaidah Am (umum) – Khas (khusus)

A. Lafazh ‘am (umum)
Adalah lafazh yang maknanya luas meliputi satuan-satuan (juz’iyah) yang relevan dengan cakupan makna itu tanpa batas.
Allah berfirman dalam QS Al-Ankabut [29] : 33 :
“Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan kamu dan keluargamu.”
Berdasarkan keumuman lafazh “keluarga” pada firman Allah diatas yang maka Nabi Nuh menagih janji Allah ketika banjir telah melanda dengan memohon kepada Allah agar menyelamatkan anaknya yang termasuk keluarganya, hal itu dapat kita lihat pada QS Hud [11] : 45 :
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya seraya berkata : “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku dan sesungguhnya janji Engkau adalah benar.”
Kemudian Allah menjawab permohonan nabi Nuh tersebut pada ayat lanjutannya, yaitu QS Hud [11] : 46 :
“Allah berfirman, “Hai Nuh, sesungguhnya ia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan).”
Jawaban Allah ini mengecualikan anaknya dari keumuman kata “keluargamu” yang dijanjikan akan diselamatkan.
Aneka Ragam bentuk ‘Am :
1. Lafazh man (siapa), ma (apa saja), aina dan mata (kapan); yang terdapat dalam suatu kalimat tanya (istifham) :
2. Lafazh ma (apa saja) dan man (siapa) yang mendapat jaminan balasan, seperti :
a. QS Al-Baqarah [2] : 272 :
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu tidak sedikitpun dianiaya.”
b. QS An-Nisa’ [4] : 123
“Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan (sesuai) dengan kejahatan itu.”
3. Lafazh kullun (tiap-tiap) dan jami’un (seluruh)
a. QS Ali Imran [3] : 185 :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mengalami mati.”
b. QS Al-Baqarah [2] : 29 :
“Dia lah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.”
4. Lafazh ayyun (mana saja) yang terdapat pada kalimat yang bersifat syarat.
Contohnya pada QS Al-Isra’ [17] : 110 :
“Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai nama-nama yang baik.”
5. Lafazh yang bersifat nakirah yang terdapat dalam susunan kalimat yang bersifat negatif (nahi) atau dalam susunan larangan (nahi). Contohnya pada QS Al Bawarah [2] : 48 :
a. QS Al-Baqarah [2] : 48 :
“Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun.”
b. QS Al-Isra’ [17] : 23 :
“Maka, sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka.”
6. Lafazh ma’syara, ma’asyira, ‘ammah, qatibah dan sa’irun :
a. QS Al-An’am [6] : 130 :
“Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul Kami dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan ayat-ayat Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini … ?”
b. QS At-Taubah [9] : 36 :
“Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya, sebagaimana mereka pun telah memerangi kamu semuanya.”
7. Isim berbentuk jama’ yang diawali alif dan lam.
Contohnya pada QS Al-Ma’idah [5] : 42 :
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
8. Isim yang dinisbatkan (mudhaf)
Contohnya pada QS Ibrahim [14] : 34 :
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya.”
9. Isim-isim yang berfungsi sebagai penyambung (al-maushulah) seperti ladzi, al-lati, al-ladzina, al-lati dan dzu. Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 10 :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya.”
10. ‘Amr (perintah) dengan bentuk jama’ (plural)
Contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 43 :
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ “.
Macam-macam penggunaan lafazh ‘am (umum) :
a. ‘Am yang tetap dimaksudkan untuk keumumannya, contohnya pada QS Al-Kahfi [18] : 49 :
“Dan tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun.”
Kata “ahadan” tak seorangpun bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.”
Kata “ummhat” ibu-ibumu bersifat umum tanpa ada kemungkinan peng khususan.
b. ‘Am tetapi yang dimaksudkan adalah khas (khusus)
Contohnya pada QS Ali –Imran [3] : 39 :
“Kemudian malaikat memanggilnya (zakariya), sedang ia tengah berdiri bersembahyang di mihrab.”
Lafazh malaikat pada ayat diatas adalah umum tapi yang dimaksud adalah khusus, yaitu Jibril.
c. ‘Am yang mendapat peng-khususan
Contohnya QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”
Ayat itu umum untuk semua manusia, tapi di ayat yang lain ada peng khususan yaitu bagi yang mampu.
B. Khas (khusus) dan Takhsis (pengkhususan)
Khas merupakan kebalikan dari ‘Am, yaitu lafazh yang hanya mengandung satu satuan (juz’iyah) makna.
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian kandungan yang dicakup oleh makna lafazh yang umum.
Macam-macam Mukhashshis (peng khusus).
1. Mukhashshish Muttashil (peng khusus yang bersambung)
a. Istitsna (pengecualian), contohnya pada QS An-nur [24] : 4-5 :
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik, kecuali orang-orang yang bertaubat … “
b. Sifat, contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 23 :
“(Dan diharamkan bagi kamu untuk mengawini) anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu, yaitu istrimu (itu) telah kamu campuri.”
Anak tiri haram dinikahi, yaitu yang ibunya (yang menjadi istri) telah disetubuhi. Bila belum disetubuhi kemudian bercerai, maka anak tiri itu boleh dikawini.
c. Syarat, contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 180 :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabat secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.”
Kalimat “jika ia meninggalkan harta yang banyak” adalah syarat, maka bila seseorang tidak meninggalkan harta yang banyak, maka tidak wajib berwasiat.
d. Batas, contohnya dalam QS Al-Baqarah [2] : 196 :
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu, sebelum kurban sampai ditempat penyembelihannya.”
Kalimat “sebelum kurban sampai ditempat penyembelihan” merupakan batas larangan mencukur rambut kepala saat haji.
e. Mengganti sebagian dari keseluruhannya, contohnya pada QS Ali-Imran [3] : 97 :
“Melaksanakan ibadah haji adalah kewajiban manusia yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.”
2. Mukhashshish Munfashil , yaitu peng khusus yang berada di tempat lain
a. Ayat Al-Qur’an yang lain.
QS Al-Baqarah [2] : 228 :
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (ber ‘iddah) tiga kali quru’.”
Ayat tersebut bersifat umum, berlaku bagi setiap wanita yang dicerai, baik yang sedang hamil maupun tidak dan yang telah dicampuri. Kemudian ayat ini ditakhsis oleh dua ayat (mukhashshish) yang lain :
QS Ath-Thalaq [65] : 4 :
“Dan perempuan-perempuan yang sedang hamil, waktu ‘iddah mereka adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.”
Mukhashshish kedua, QS Al-Ahzab [33] : 49 :
“Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-kali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”
b. Hadits (men takhsis Al-Qur’an dengan hadits), contohnya pada QS Al-Baqarah [2] : 275 :
“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Dikecualikan dari jual-beli adalah jual-beli yang buruk seperti tersebut pada hadits berikut :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang mengambil upah dari persetubuhan binatang jantan dengan binatang yang lain.” (HR Bukhari).
Dalam riwayat lain disebutkan :
“Dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah saw melarang jual-beli (binatang) yang akan dikandung oleh yang (sekarang masih) didalam kandungan. Yang demikian itu adalah jual-beli yang dilakukan oleh kaum jahiliyyah, yaitu seseorang membeli binatang sembelihan (dengan bayar tempo) sampai unta itu beranak dan anak onta itu beranak pula.” (HR Muttafaqun ‘alaihi).
c. Ijma’ (men takhsis Al-qur’an dengan Ijma’).
Contohnya pada QS An-Nisa’ [4] : 11 :
“Allah mensyari’atkan bgimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan.”
Ayat tersebut dikecualikan secara ijma’ bagi laki-laki yang berstatus budak..
d. Qiyas (men takhsis Al-Qur’an dengan Qiyas)
Contohnya QS An-nur [24] : 2 :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.”
Ayat tersebut dikecualikan bagi budak dengan dasar analogi terhadap perempuan yang berstatus budak yang dikecualikan dari ketentuan hukum dera bagi perempuan-perempuan yang berbuat fahisyah sebagaimana tersebut dalam QS An-nisa’ [4] : 25 :
“Jika mereka mengerjakan perbuatan keji, maka atas mereka setengah hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami.”
e. Akal (men takhsis Al-Qur’an dengan akal)
Contohnya pada QS Ar-Ra’du [13] : 6 :
“Allah adalah pencipta segala sesuatu.”
Akal menetapkan bahwa Allah bukan pencipta bagi diriNya sendiri.
f. Indera (men takhsis Al-Qur’an dengan indera)
Contohnya : QS An-Naml [27] : 23 :
“Sesungguhnya aku menjumpai seseorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu, serta mempunyai singgasana yang besar.”
Indera kita menetapakan segala sesuatu yang dianugerahkan kepada wanita (Ratu Balqis) tidak seperti yang dianugerahkan kepada Nabi Sulaiman.
g. Siyaq (Mentakshis Al-Qur’an dengan siyaq)
Siyaq adalah keterangan yang mendahului suatu kalam dan yang datang sesudahnya.
Contohnya takhsis dengan siyaq adalah seperti pada QS Al-A’raf [7] : 163 :
“Dan tanyakanlah kepada mereka (Bani Israil) tentang kampung yang terletak di dekat laut …. ?”
Dalam ayat tersebut, dilukiskan bahwa yang dipertanyakan adalah tentang suatu kampung/desa, Menurut siyaqul kalam bahwa yang dimaksud dengan desa itu adalah penduduknya.
Hukum lafazh ‘am, khas dan takhsis :
1. Apabila didalam ayat Al-Qur’an terdapat lafazh yang bersifat khas (khusus), maka maknanya dapat menetapkan sebuah hukum secara pasti, selama tidak terdapat dalil yang menta’wilkannya dan menghendaki makna lain.
2. Apabila lafazh itu bersifat ‘am (umum) dan tidak terdapat dalil yang meng-khususkannya (men-takhsis-nya), maka lafazh tersebut wajib diartikan kepada ke umumannya dan memberlakukan hukumnya bagi semua satuan yang dicakup makna itu secara mutlak.
3. Apabila lafazh itu bersifat umum dan terdapat dalil yang men takhsis nya, maka lafazh itu hendaknya diartikan kepada satuan makna yang telah dikhususkannya itu dan satuan yang khusus itu dikeluarkan dari cakupan makna yang umum tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar