by Fajar Burnama
Kebahagiaan bagai berlian di dalam sebuah
laci yang terkunci pada lemari yang terkunci di dalam kamar yang terkunci di
sebuah rumah yang terkunci dengan pagar tinggi yang terkunci, begitulah
gambaran seorang ulama.
Dalam perjalanan hidup manusia, tentu
yang diharapkan adalah kebahagiaan terus-menerus alias bahagia selalu, tapi mungkinkah?
Hal ini mungkin terjadi apabila ukuran kebahagiaan kita adalah iman, sehingga
setiap waktu kita akan merasa bahagia karena meyakini setiap episode kehidupan
adalah buah dari kasih sayang Allah. Tetapi menjadi tidak mungkin manakala ukuran
kebahagiaan semata nafsu dan prasangka.
Perhatikan firman
Allah dalam Al-Qur’an:”Orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan dan tempat
kembali yang baik.”(QS.
Ar-Ra’du [13]: 29)
Sejujurnya, hidup ini menjadi tidak
menarik manakala berlangsung datar, bahagia terus atau sedih terus. Kehidupan bagaikan
alunan musik yang memiliki dinamika sehingga menarik dan enak didengar. Kadang
dengan nada yang tinggi dan sesekali turun ke nada yang rendah, sehingga musik
itu akan enak didengar. Penyanyi yang mampu menyanyikan lagu dengan nada yang
tepat dan penghayatan yang baik, maka ia akan disukai pendengarnya.
Karena hakikat kehidupan adalah anugerah
dan ujian, maka kebahagiaan dan kesedihan menjadi keniscayaan. Adanya malam
karena adanya siang, adanya kebaikan karena adanya kejahatan, begitu pula
adanya kebahagiaan tentu karena adanya kesedihan. Pria tiada artinya tanpa
kehadiran wanita, begitu pula wanita tidak berdaya tanpa kehadiran pria. Inilah
keadilan Tuhan, semuanya diciptakan seimbang dan berpasangan.
Setiap manusia harus siap menghadapi
kenyataan yang terjadi. Saat kita bahagia, kita harus bersyukur dan menyiapkan
diri untuk menyongsong kesedihan yang pasti akan menjelang. Saat kita sedih,
sabarlah karena kebahagiaan akan segera menyapa. Kita harus mampu menghadapi
kebahagiaan dan kesedihan dengan sikap yang terbaik. Hidup ini adalah pilihan
yang menuntut kita untuk mampu memilih yang terbaik. Semakin kita mampu memilih
yang terbaik, kelak kita akan mendapatkan yang terbaik di kehidupan yang akan
datang. Sebaliknya, bila yang kita pilih justru hal yang buruk, bersiaplah
untuk mendaptkan yang serupa nanti.
Saat bayi dilahirkan, ia menangis
sejadinya, sungguh tragis. Pertanyaannya mengapa setiap bayi yang dilahirkan
pasti menangis? Apakah mereka telah diajari bahwa manakala mereka dilahirkan
maka mereka harus menangis? Lalu apa maksudnya? Setiap bayi menangis saat
dilahirkan karena mereka sedih akan segera menghadapi ujian yanga berat, yakni
hidup di dunia. Padahal kalau mereka bisa memilih, lebih baik mereka tetap di
dalam rahim sang ibu. Ya, inilah awal kesedihan yang pasti dirasakan manusia,
walau otak mereka belum berpikir sempurna.
Setiap muslim mulai merasakan ujian
kehidupannya manakala beranjak baligh, sejak saat itulah kita dipikulkan beban
untuk melakukan hal yang terbaik dan menjauhi hal-hal yang buruk. Mau ataupun
tidak inilah kehidupan. Semakin banyak hal yang baik yang kita lakukan maka kita
semakin sukses menjalani kehidupan ini, tapi jika sebaliknya, maka gagallah
kita.
Norma yang membimbing kita untuk
melakukan segala hal yang baik dan menjauh dari segala hal yang buruk. Norma
ada yang berasal dari dalam diri manusia sendiri, ada yang berasal dari luar, “something
is out there”. Manakala kita berhasil memahami semua norma yang berlaku, maka
semakin kita mahir melakukan hal yang baik. Benar dan salah bisa kita temukan
dengan logika, indah dan jelek bisa kita temukan dengan estetika, sedangkan baik
dan buruk ada pada etika. Budaya, hukum, sosial, adalah ragam norma yang
berlaku di dalam masyarakat. Tapi semua itu bermuara pada norma agama, terutama
Islam yang memang mencakup segala aspek kehidupan manusia.
Kondisi masyarakat kita kini memang
telah sedemikian jauh dari norma-norma yang berlaku terutama norma agama. Banyak
yang tidak lagi memperhatikan mana yang baik dan buruk dalam kehidupannya. Yang
terpenting adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal
ini jelas berbahaya. Seperti sekawanan semut yang membuat rumah bersama-sama,
setiap individu semut berusaha mengikuti aturan yang berlaku agar rumahnya bisa
diselesaikan dengan sempurna. Manakala ada sebagian semut yang keluar dari
aturan, maka mereka akan mengganggu stabilitas dan soliditas kelompok dan rumah
yang sedang dibuat pun tidak akan selesai sesuai harapan.
Keberhasilan sebuah masyarakat
merupakan akumulasi keberhasilan setiap individu anggotanya, begitupula kegagalannya.
Kita harus peduli manakala ada di antara kita yang berbuat kesalahan, karena
dampak dari kesalahan itu akan kita dapatkan juga. Semoga kita mampu menikmati
setiap episode kehidupan ini dengan senantiasa berpegang teguh pada prinsip norma
Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar