Senin, 29 November 2010

MENJENGUK ORANG SAKIT

-ibn akhdhar-

1. Hukum menjenguk orang sakit
- Hadits nabi saw,
“Dari Abu Hurairah ra, ia mengatakan, ‘Rasulullah saw, bersabda : Hak setiap muslim terhadap muslim lainnya ad lima yaitu, menjawab salam, melawat yang sakit, mengantarkan jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab (mendo’akan) yang bersin ’.”
(HR. Bukhari: 244, dan Muslim II: 344)
- Hadits nabi saw,
“Dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata, ‘ Rasulullah saw, bersabda : Beri makanlah yang kelaparan, jenguklah orang yang sakit, dan bebaskanlah tawaran’.” (HR. Bukhari:1215)
- Nabi saw, bersabda :
“Dari Bara bin ‘Azid, ia berkata, ‘Rasulullah saw, memerintah kami akan tujuh hal penting : yaitu agar kami mengantar jenazah, melawat orang sakit, dan menyebarkan salam,…’.” (HR. Bukhari : 1215)
Asal setiap perintah menunjukkan wajib, tetapi karena tidak ada ancaman bagi yang tidak melaksanakannya sama sekali, jadilah hukumnya sunah muakkadah (sunah yang mengikat).

HADITS-HADITS PERGAULAN

-ibn akhdhar-

1. Makruh menjawab dengan kata "aku" bagi orang yang minta izin ketika ditanya "siapa ini?"
• Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:
Aku datang mengunjungi Nabi saw. lalu menyapa kemudian Nabi saw. bertanya: Siapa ini? Aku menjawab: Aku. Nabi saw. lalu keluar seraya berucap: Aku, aku. (Shahih Muslim No.4011)

2. Pengendara sepatutnya mengucapkan salam kepada pejalan kaki dan kelompok yang beranggota lebih sedikit mengucapkan salam kepada kelompok yang beranggota lebih banyak
• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Seorang pengendara hendaknya mengucapkan salam kepada pejalan kaki dan pejalan kaki mengucapkan salam kepada orang yang duduk dan jamaah yang beranggota lebih sedikit mengucapkan salam kepada jamaah yang beranggota lebih banyak. (Shahih Muslim No.4019)

DA’I DALAM KEHIDUPAN KELUARGA

-ibn akhdhar-

Setelah Muhammad saw, menerima wahyu pertama di Gua Hiro, kemudian beliau resmi diangkat sebagai Nabi dan Rasul Allah. Setelah itu turun wahyu untuk mengajak orang lain terhadap islam yang kemudian dinamakan dengan fase dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi), beliau pertama kali mengajak istrinya yakni Siti Khadijah ra, beliau pun beriman. Kemudian kepada sahabat karibnya yakni Abu Bakar ra, kemudian kepada Ali Bin Abi Thalib ra. sepupunya, dan Zaid bin Haritsah ra, anak angkatnya, mereka pun beriman. Melalui Abu Bakar ra, masuk islamlah Utsman bin Affan ra, Thalhah bin Ubaidilah ra, Sa’ad bin Abi Waqash ra, dan Abdurrahman bin Auf ra. Rasulullah saw, mengokohkan keimanan dan kesabaran mereka dengan melakukan pembinaan (tarbiyah), agar kelak mereka siap untuk berdakwah kepada orang-orang yang tidak sabar dan cenderung menolak dakwahnya. Pembinaan tersebut dilakukan di rumah salah seorang sahabat, yakni Arqom bin Abil Arqom Al-Makhzumi ra,. Mereka dibina oleh Rasulullah saw, tentang tsaqofah islamiyah, yang meliputi tsaqofah jasmaniyah, tsaqofah ruhiah, dan tsaqofah ilmiyah.

KIPRAH DA’I DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

-ibn akhdhar

Setelah Muhammad saw, menerima wahyu pertama di Gua Hiro, kemudian beliau resmi diangkat sebagai Nabi dan Rasul Allah. Setelah itu turun wahyu untuk mengajak orang lain terhadap islam yang kemudian dinamakan dengan fase dakwah sirriyah (sembunyi-sembunyi), beliau pertama kali mengajak istrinya yakni Siti Khadijah ra, beliau pun beriman. Kemudian kepada sahabat karibnya yakni Abu Bakar ra, kemudian kepada Ali Bin Abi Thalib ra. sepupunya, dan Zaid bin Haritsah ra, anak angkatnya, mereka pun beriman. Melalui Abu Bakar ra, masuk islamlah Utsman bin Affan ra, Thalhah bin Ubaidilah ra, Sa’ad bin Abi Waqash ra, dan Abdurrahman bin Auf ra. Rasulullah saw, mengokohkan keimanan dan kesabaran mereka dengan melakukan pembinaan (tarbiyah), agar kelak mereka siap untuk berdakwah kepada orang-orang yang tidak sabar dan cenderung menolak dakwahnya. Pembinaan tersebut dilakukan di rumah salah seorang sahabat, yakni Arqom bin Abil Arqom Al-Makhzumi ra,. Mereka dibina oleh Rasulullah saw, tentang tsaqofah islamiyah, yang meliputi tsaqofah jasmaniyah, tsaqofah ruhiah, dan tsaqofah ilmiyah.

TEKNIK DEBAT DALAM ISLAM

-ibn akhdhar-

BAGIAN 1
Dasar-Dasar Kaifiyat Mujadalah

Pengertian kaikfiyat adalah hal,peri, sifat, tata cara, kaidah, metoge, atau teknik. Adapun mujadalah adalah keras atau kuat. Bertukar pikiran, berdiskusi atau berdebat.
Kaifiyat mujadalah adalah
- Ilmu yang mempelajari poko-pokok atau kaidah umum untuk mengetahui sistematis atau tidaknya suatu pemikiran, pembentukan ide atau konsep
- Ilmu yang mempelajari kaidah bentukan pemikiran dari dua pihak mengenai hubungan antara sesuatu untuk mencari kebenaran
- Ilmu yang memmpelajari cara atau tata tertib berunding, membahas atau membantah suatu masalah dengan maksud mencari kebenaran
Kandungan kaifiyat mujadalah

Definisi, Komponen dan Model Komunikasi Antar Budaya

-ibn akhdhar-

Komunikasi merupakan hal yang pasti dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya, demikian juga dengan hewan. Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia dalam menjalani kehidupannya. Bahkan seorang bayi pun sudah dapat melakukan komunikasi, seperti ketika ia menangis itu bias jadi menandakan bahwa ia sedang lapar atau tidak nyaman. Maka jelaslah bahwa komunikasi adalah hal penting yang harus dipelajari dan dipahamai.
Setiap perilaku dapat menjadi komunikasi bila kita memberi makna terhadap perilaku orang lain atu perilaku kita sendiri. Setiap orang akan sulit untuk tidak berkomunikasi karena setiap perilaku berpotensi untuk menjadi komunikasi untuk ditafsirkan.

Minggu, 28 November 2010

Kitab – Kitab Tafsir yang Terkenal

-ibn akhdhar-

A. Tafsir bil Ma’sur
1. Tafsir yang disandarkan kepada Ibnu Abbas –Tanwirul Miqbas min Tafsiri Ibn Abbas- disusun oleh Abu Tahir Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabadi asy-Syafi’i.
2. Tafsir Ibn Jarir at-Tabari, Jami’ul bayan fi tafsiril Qur’an.
3. Tafsir Ibn Abi Hatim
4. Tafsir Abusy Syaikh bin hibban.
5. Tafsir Abu Lais as-Samarqandhi, Bahrul-Ulum.
6. Tafsir Abu Ishaq, al-Kasyfu wal bayan ‘an tafsiril Qur’an.
7. Tafsir Abu Fida Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim.
8. Tafsir Jalaluddin as-Suyuthi, ad-Durrul Mansar fil Tafsiri bil-Ma’tsur.
9. Tafsir asy-Syaukani, Fathul Qadir.

Terjemah, Tafsir dan Ta’wil & Perkembangan Tafsir (syarat, adab mufasir)

-ibn akhdhar-

Terjemah, Tafsir dan Ta’wil

A. Terjemah (Translate)
Pengertian terjemah adalah memindahkan kalam dari suatu bahasa kepada bahasa yang lain. Terjemah dibagi dua yaitu secara harfiah (litterlijk) dan secara tafsiriyyah (ma’nawiyah). Terjemahan secara harfiah (litterlijk) sangat tidak dianjurkan untuk orang awam yang umum, kecuali untuk pelajar yang mempelajari bahasa.Terjemahan yang disarankan untuk orang awam yang umum adalah terjemahan yang tafsiriyaah (ma’nawiyah).
Contoh dalam QS Al-Qamar [54] : 13, bila diterjemahkan secara harfiyah adalah :
“Dan kami bawa dia (Nabi Nuh) diatas yang mempunyai papan-papan dan paku-paku. Ia berjalan dengan mata-mata Kami sebagai balasan bagi orang-orang yang tidak dipercayai”

Kaidah Mutlaq (tanpa batasan) – Muqayyad (dengan batasan)

-ibn akhdhar-

Mutlaq adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat tanpa suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS Al-Mujadalah [58] : 3 :
“Dan orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atas mereka) memerdekakan seorang budak ….”
Lafazh “budak” diatas tanpa dibatasi, meliputi segala jenis budak, baik yang mukmin maupun kafir.
Muqayyad adalah lafazh yang menunjukkan suatu hakikat dengan suatu pembatas (qayid). Contohnya dalam QS An-Nisa’ [4] :92 :
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain) kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang budak yang beriman”

Kaidah Mujmal (global) – Mufassar/Mubayyan (ditafsirkan/dijelaskan)

-ibn akhdhar-

Lafazh mujmal adalah lafazh yang global, masih membutuhkan penjelasan (bayan) atau penafsiran (tafsir).
Untuk memberikan penjelasan atau penafsiran terhadap lafazh yang mujmal maka tidak ada jalan lain kecuali harus kembali kepada syar’i, karena memang Dia lah yang menjadikannya sebagai lafazh yang mujmal.
Mubayyan adalah lafazh yang sudah dijelaskan dari keglobalannya.
Klasifikasi Mubayyan berdasarkan sumber yang menjelaskannya :
1. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu nash. Misalnya dalam QS An-Nisa’ [4] : 176, lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash;

Kaidah Makna Kata (lafazh) & Kaidah Am (umum) – Khas (khusus)

-ibn akhdhar-

Kaidah Makna Kata (lafazh)

A. Makna Hakikah (lahir)
Makna hakihah adalah makna lahir (harfiah/lughawiyah).
Hakikah diklasifikasikan menjadi :
1. Lughawiyyah Wadhi’iyyah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki berdasarkan konteks penggunaan asal kata tersebut. Selain itu biasa disebut pula dengan hakikah al lughawiyyah saja. Misalnya kata “rajul” yang digunakan untuk menyebut laki-laki dewasa.
2. Lughawiyya Manqulah, yaitu kata yang digunakan untuk menunjukkan makna hakiki setelah mengalami transformasi makna, baik yang dilakukan oleh ahli bahasa maupun pembuat syariat. Kata jenis ini, bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian, sebagai berikut :
a. Al-Urfiyyah, yaitu transformasi makna dari makna asal karena kebiasaan. Misalnya kata “ad-dabbah” (hewan melata) menjadi makna lain yang lebih populer. Berdasarkan asal maknanya mempunyai konotasi semua mahkluk hidup yang melata dimuka bumi, yang meliputi manusia dan hewan. Kemudian digunakan orang Arab dengan konotasi hewan berkaki empat sehingga makna asalnya ditinggalkan.

Kaidah Syarat – Jawab & Kaidah Petunjuk Kata (Dalalah Lafazh)

-ibn akhdhar-

Kaidah Syarat – Jawab

Dalam ilmu nahwu (tata bahasa Arab), kata-kata syarat (adawatusy-yarth) itu terbadi dalam dua bagian :
1. Kata syarat yang menjazamkan fi’il : in, idzma, ma, mata, man, kaifama, haitsuma, aina, ayyana, ayyun dan mahma.
2 Kata syarat yang tidak menjazamkan : lau, laula, idza, kullama dan lamma.
Kalimat yang didahului dengan kata syarat dinamakan jumlah syarthiyyah.
Beberapa Contoh Kata Syarat Dalam Al-Qur’an :
1. In (jika) dalam QS Al-Baqarah [2] : 284.
2. Idza (bila, jika) dalam QS [110] : 1-3.
3. Man (barang siapa) dalam QS [4] : 110.
4. Mahma (apapun) dalam QS [7] : 132
5. Aina (dimana) dalam QS [4] : 78.
6. Ayyun (apa) dalam QS [17] : 110.
7. Lau (jikalau, kiranya) dalam QS [9] : 42.

Kaidah Hadzful Ma’ful (membuang obyek kalimat), Kaidah Istifham (pertanyaan mencari pemahaman) & Kaidah Tanya – Jawab

-ibn akhdhar-

Kaidah Hadzful Ma’ful (membuang obyek kalimat)

Kaidah hadzful ma’ful adalah pembuangan obyek dalam kalimat. Apabila suatu kata kerja (fi’il) atau yang mengandung arti kata kerja, dihubungkan dengan suatu obyek tertentu, pengertiannya menjadi terbatas hanya pada kata yang berkaitan. Akan tetapi jika obyek kata itu ditinggalkan (tidak disebutkan) maka kata tersebut mengandung pengertian yang lebih luas dan umum.
Contoh-contoh :
1. QS Al-alaq [96] : 1-3
“Bacalah dengan nama Tuhanmu dan Penjagamu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhanmu Maha Pemurah.”
Dalam ayat diatas setelah kata ‘Bacalah’ tidak ditemukan obyek (ma’ful). Padahal lazimnya kata kerja memerlukan obyek atau sasaran yang dikenai pekerjaan.

Kaidah Mufrad (tunggal) – Jamak (berbilang), Kaidah Dhamir (Kata Ganti), Tadzkir (penunjuk laki-laki) dan Ta’nits (penunjuk perempuan) & Kaidah Ta’rif

-ibn akhdhar-

Kaidah Mufrad (tunggal) – Jamak (berbilang)

Mufrad adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang menunjukkan satu atau tunggal. Sedangkan Jamak adalah sebutan untuk kata benda (isim) yang berarti lebih dari satu atau banyak.
Kaidah Mufrad-Jamak dalam Al-Qur’an :
1. Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad (tunggal) misalnya : ardh (bumi), shirath (jalan), nur (cahaya).
2. Kata-kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya : lubb-albab (orang orang yang memikirkan), kub-akwab (piala-piala).
3. Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud atau konteks yang berbeda. Kata-kata tersebut antara lain : Sama’ – samawat, rih – riyah, sabil – subul, maghrib –magharib, masyriq – masyariq.
Kata sama’ dalam bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk menunjukkan betapa luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud adalah arah atas, sebagai lawan bawah.
Kata rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam konteks azab dan digunakan dalam bentuk jamak jika digunakan dalam konteks rahmat.
Kata sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam konteks kebenaran dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan.

Kaidah Wujuh (banyak makna) – Nazha’ir (satu makna) & Kaidah Isim (kata benda) - Fi’il (kata kerja)

-ibn akhdhar-

Kaidah Wujuh (banyak makna) – Nazha’ir (satu makna)

Wujuh adalah satu kata yang mempunyai banyak makna, sedangkan nazha’ir adalah kata yang hanya mempunyai satu makna yang tetap.
Muqatil bin Sulaiman meriwayatkan yang disandarkan kepada Nabi : “Seseorang tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum dia mengetahui makna yang beragam (wujuh) dari Al-Qur’an”.
Ibnu ‘Asakir meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Hammad Zaid, dari Ayyub, dari Abu Qalabah, dari Abu Darda’ : ”Sesungguhnya engkau tidak akan benar-benar paham Al-Qur’an sebelum engkau mengetahui makna-makna Al-Qur’an dalam berbagai ragam”.

Muhkam (jelas) – Mutasyabih (samar) & Kaidah Amr (perintah) – Nahi (larangan)

-ibn akhdhar-

Muhkam (jelas) – Mutasyabih (samar)

Ayat Al-Qur’an yang muhkam artinya : jelas dan mudah diketahui maknanya. Sedangkan ayat Al-Qur’an yang mutasyabih artinya : samar dan tidak mudah diketahui maknanya.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat yang muhkam dengan ayat-ayat yang nasikh (menghapus) dan masih berlaku hukumnya, ayat-ayat tentang halal-haram, akidah (rukun iman), tauhid, hudud (hukuman), kewajiban (ibadah, rukun Islam), janji (pahala, ampunan, surga) dan ancaman (dosa, laknat, azab neraka), itulah pokok-pokok agama (ushul) karena ayat-ayatnya muhkam (jelas dan tidak diperselisihkan) maka menjadi perkara yang qoth’i (pasti).
Sedangkan contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
1. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
2. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Riwayat Abu Ubaid, dari Anas : “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa [80] : 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”.
Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui””.

Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus & Nasikh – Mansukh

-ibn akhdhar-

Kaidah Kalimat Umum Dengan Sebab Khusus

Dikalangan umat Islam berkembang klaim universalitas dan supremasi Islam yang berlaku melampaui dimensi ruang dan waktu, dengan Al-Qur’an sebagai sumber pedoman. Al-Qur’an tidak turun dalam satu masyarakat yang hampa budaya. Dari sekian banyak ayat-ayatnya, para ulama menyatakan harus dipahami dalam konteks asbabun nuzulnya, karena ayat tersebut berinteraksi dengan kenyataan yang ada dan kenyataan tersebut mendahului atau paling tidak bersamaan dengan turunnya ayat.
Dalam kaitannya dengan asbabun nuzul, sebagian besar ulama berpegang pada kaidah “al ‘ibrahu bi ‘umumil lafzh la bikhususin asbab” (yang menjadi pegangan adalah keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab), sedangkan sebagian kecil berpegang pada kaidah kebalikannya, yaitu al ‘ibratu bikhususus sabab la bi ‘umumil lafzh: (yang menjadi pegangan adalah kekhususan sebab bukan pada keumuman lafazh).

Makkiyah – Madaniyah &Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat)

Makkiyah – Madaniyah

Pokok-pokok bahasan ayat-ayat Makki-Madani adalah :
1. Ayat yang diturunkan di Mekkah.
2. Ayat yang diturunkan di Madinah.
3. Ayat yang diperselisihkan turun di Mekkah atau Madinah.
4. Ayat-ayat Makkiyah dalam surah madaniyah.
5. Ayat-ayat Madaniyah dalam surah Makkiyah.
6. Ayat yang diturunkan di Mekkah tapi hukumya Madaniah.
7. Ayat yang diturunkan di Madinah tapi hukumnya Makkiyah
8. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Mekkah dalam kelompok Madaniyah.
9. Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makkiyah.
10. Yang dibawa dari Mekkah ke Madinah.
11. Yang dibawa dari Madinah ke Mekkah.
12. Yang turun diwaktu malam dan siang
13. Yang turun dimusim panas dan musim dingin.
14. Yang turun ketika menetap (mukim) dan dalam perjalanan (safar).

Ushul Tafsir

-ibn akhdhar-

Ushul tafsir adalah cabang dari ilmu ulumul Qur’an yang membahas ilmu-ilmu dan kaidah-kaidah yang diperlukan dan harus diketahui untuk menafsirkan Al-Qur’an. Ushul tafsir ini adalah bagian dari ulumul qur’an yang paling penting karena sangat erat kaitannya dengan istinbath (penyimpulan hukum) dalam fikih dan penetapan i’tikad (tauhid, akidah) yang benar.
Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan : “Jika ada orang bertanya : ‘Apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka jawabnya : ‘Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.

Tema-Tema Dalam Al-Qur’an

-ibn akhdhar-

Amsal (perumpamaan) dalam Al-Qur’an

Menurut Ibnu Qayyim, Amtsalul Qur’an adalah penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya dan mendekatkan sesuatu yang abstrak dengan yang kongkrit.
Macam-macam Amtsal (perumpamaan) dalam Al-Qur’an :
1. Amtsal Musarrahah, ditunjukkan dengan lafazh pemisalan atau sesuatu yang menunjukkan tasbih.
Contohnya : QS Al-Baqarah [2] : 17-20 :
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka ini bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat. …. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”

Fawatihus Suwar(Pembukaan Surat) & Qiraat dan Pengajaran Al-Qur’an

-ibn akhdhar-

Fawatihus Suwar(Pembukaan Surat)

Fawatisus suwar berarti pembukaan surat karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks p-ada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dinamakan dengan ahruf muqatta’ah (huruf-huruf terpisah), karena posisi huruf tersebut menyendiri dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan.
Ibnu Abi Al Asba’ menulis kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini yaitu kitab Al Khaqatir Al Sawanih fi Asrar Al Fawatih, beliau membagi bentuk pembukaan surat dalam Al-Qur’an dalam lima bentuk :
1. Pujian kepada Allah.
2. Huruf muqatta’ah, terdapat dalam 29 surat.
3. Kata seru (ahruhun nida’), terdapat dalam 10 surat.
4. Kalimat berita, terdapat dalam 23 surat.
5. Sumpah, terdapat dalam 15 surat.

Ijaz (Kemukjizatan) Al-Qur’an & Munasabah (Korelasi)

-ibn akhhar-

Ijaz (Kemukjizatan) Al-Qur’an

Kata mukjizat berasal dari kata ‘ajaz (lemah).I’jaz dapat diartikan mukjizat, hal yang melemahkan, yang menjadikan sesuatu atau pihak lain tak berdaya. I’jazul Qur’an adalah kekuatan, keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki Al-Qur’an yang menetapkan kelemahan manusia, baik secara terpisah maupun berkelompok-kelompok, untuk bisa mendatangkan minimal yang menyamainya. Kadar kemukjizatan Al-Qur’an itu meliputi tiga aspek, yaitu : aspek bahasa (sastra, badi’, balagah/ kefasihan), aspek ilmiah (science, knowledge, ketepatan ramalan) dan aspek tasyri’ (penetapan hukum syariat).
Muhammad Ali Ash Shabumi dalam kitab At-Tibyan menyebutkan segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an sebagai berikut :
1. Susunan kalimatnya indah.
2. Terdapat uslub (cita rasa bahasa) yang unik, berbeda dengan semua uslub-uslub bahasa Arab.
3. Menantang semua mahkluk untuk membuat satu ayat saja yang bisa menyamai Al-Qur’an, tapi tantangan itu tidak pernah bisa dipenuhi sampai sekarang ini.
4. Betuk perundang-undangan yang memuat prinsip dasar dan sebagian memuat detail rinci yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia melebihi setiap undang-undang ciptaan manusia.
5. Menerangkan hal-hal ghaib yang tidak diketahui bila mengandalkan akal semata-mata.
6. Tidak bertentangan dengan pengetahuan ilmiah (ilmu pasti, science).
7. Tepat terbukti semua janji (ramalan) yang dikhabarkan dalam Al-Qur’an.
8. Mengandung prinsip-prinsip ilmu pengetahuan ilmiah didalamnya.
9. Berpengaruh kepada hati pengikut dan musuhnya

Munasabah (Korelasi)

Munasabah adalah ilmu yang membahas korelasi urutan antar ayat Al-Qur’an dan atau antar surah Al-Qur’an. Pengetahuan tentang munasabah akan membantu memahami makna ayat Al-Qur’an. Kadang ditemukan kaitan umum atau khusus diantara ayat-ayat Al-Qur’an baik yang rasional, inderawi maupun imajinatif tanpa mengupas lafazh-lafazh menurut makna peristilahan bahasa maupun pemikiran filosofis. Sebagian besar kaitannya berkisar sekitar sebab dan musabab. Jika ayat-ayat itu tidak saling bertemu, tidak terdapat kecocokan, tentu berhadapan dengan lawannya. misalnya menyebut rahmat setelah azab, menerangkan keadaan sorga dan neraka, mengarahkan hati nurani serta membangkitkan akal pikiran dan memberikan peringatan serta mengutarakan ketentuan hukum.
Ahli tafsir sangat sedikit mengetengahkan soal-soal seperti ini, bukan hanya karena rumit semata, melainkan juga karena persoalannya dipandang oleh sebagian orang sangat tidak dibutuhkan, disamping banyak menguras tenaga dan pikiran.
Orang pertama yang membahas munasabah dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah Abu Bakar An Naisaburi (wafat 324 H). As Suyuthi berkata : “Setiap kali ia (An-Naisaburi) duduk diatas kursi, apabila dibacakan Al-Qur’an kepadanya, beliau berkata : “Mengapa ayat ini diletakkan disamping ayat ini dan apa rahasia diletakkan surat ini disamping surat ini ?”. Beliau mengkritik para ulama Baghdad lantaran mereka tidak mengetahui.”
Tindakan An-Naisaburi merupakan kejutan dan langkah barudalam dunia tafsir waktu itu. Beliau mempunyai kemampuan untuk menyingkap- persesuaian, baik antar ayat ataupun antar surah, terlepas dari segi tepat atau tidaknya, segi pro dan kontra terhadap apa yang dicetuskan beliau. Satu hal yang jelas, beliau dipandang sebagai bapak ilmu munasabah.
Perkembangan selanjutnya munasabah meningkat menjadi salah satu cabang dari ilmu-ilmu Al-Qur’an. Penulis yang membahas dengan baik masalah munasabah adalah Burhanuddin Al-Biqa’i dalam kitabnya Nazhmud Durar fi Tanasubil Ayati was Suwar.
Manfaat munasabah dalam memahami ayat Al-Qur’an ada dua yaitu :
1. Memahami keutuhan, keindahan dan kehalusan bahasa.
2. Membantu dalam memahami kutuhan makna Al-Qur’an.
Untuk menemukan korelasi antar ayat,sangat diperlukan kejernihan rohani dan pikiran agar kita terhindar dari kesalahan penafsiran.

Sejarah Pembukuan Al-Qur’an

-ibn akhdhar-

i. Masa Rasulullah
Pada masa Rasulullah ayat Al-Qur’an yang turun dihafal oleh beliau “Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (didadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya” (QS Al-Qiyamah [75] : 17-18). Oleh karena itu beliau merupakan hafidz (penghafal) Al-Qur’an yang pertama dan maha guru pemberi contoh panutan paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya. Dalam sahih Bukhary dalam tiga riwayat disebutkan ada tujuh hafidz dari kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an, yaitu :
1. Abdullah bin Mas’ud
2. Salim Bin Ma’qal maula Abu Huzaifah.
3. Mu’az Bin Jabal.
4. Ubay Bin Ka’ab.
5. Zaid Bin Tsabit.
6. Abu Zaid Bin Sakan.
7. Abu Darda’.
Ke-tujuh penghafal Al-Qur’an diatas adalah para sahabat yang hafal Al-Qur’an diluar kepala yang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanadnya sampai kepada kita melalui riwayat Bukhary. Sedangkan kenyataannya setelah Rasulullah wafat, jumlah penghafal (hafidz) Al-Qur’an dikalangan sahabat terus bertambah. Untuk melukiskan hal itu dapat diketahui dari keterangan Al-Qurtubi : “Telah terbunuh tujuh puluh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa Nabi sejumlah itu dalam peristiwa pembunuhan di sumur Maa’unah”.
Rasulullah telah mengangkat beberapa penulis Al-Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti : Ali Bin Abi Thalib, Mu’awiyah Bin Abi Sufyan, Ubay Bin Ka’ab dan Zaid Bin Tsabit. Bila ayat Al-Qur’an turun beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut didalam surat, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafalan didalam hati (diluar kepala). Disamping itu sebagian sahabat menuliskan ayat Al-Qur’an yang turun itu dengan kemauan sendiri tanpa diperintah oleh Nabi. Mereka menuliskan ayat Al-Qur’an pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit binatang atau kulit kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Dalam Al Mustadrak, Hakim meriwayatkan bahwa Zaid Bin Tsabit berkata : “kami menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an pada kulit binatang” (sanad sahih menurut syarat Bukhary dan Muslim).
Pada masa Rasulullah Al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf, karena pada masa kenabian wahyu masih turun dan Rasulullah masih selalu menanti turunnya ayat Al-Qur’an, disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang nasikh (dihapus). Susunan atau tertib penulisan Al-Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi, yaitu beliau menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Al-Khattabi berkata : “Rasulullah tidak mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya”.
ii. Masa Khalifah Abu Bakar Shidiq ra.
Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah. Saat itu hampir seluruh kabilah-kabilah Arab kembali murtad dan sebagian membangkang menolak membayar zakat, karena mereka mengira kekuatan Islam sudah pudar setelah meninggalnya Rasulullah. Untuk mengatasi kemurtadan dan pembangkangan khabilah-khabilah Arab itu Khalifah Abu Bakar mengirimkan pasukan untuk menundukkan mereka dan menyeru kembali kepada Islam yang dikenal sebagai “perang ridah”.
Disamping itu di daerah Yamamah –Arab Selatan- muncul Musailamah Al-Khazab –sang pendusta- yang mengaku sebagai nabi. Khalifah Abu Bakar memeranginya yang dikenal sebagai “perang Yamamah”. Pada berbagai peperangan-peperangan tersebut banyak qari dan pengahafal Al-Qur’an dari kalangan sahabat nabi yang gugur. Umar Bin Khattab yang merupakan penasehat utama Khalifah Abu Bakar merasa khawatir Al-Qur’an akan punah bersama banyaknya qari yang gugur tersebut. Umar Bin Khattab mengusulkan agar Al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf.
Mula-mula Khalifah Abu Bakar menolak usulan itu dengan alasan hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah dan hal itu tidak diperintahkan oleh Rasulullah. Tetapi Umar terus membujuk Khalifah Abu Bakar tentang perlunya pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan umar tersebut. Khalifah Abu Bakar kemudian memanggil Zaid Bin Tsabit dan memerintahkannya untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Zaid Bin Tsabit berkata : “Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ?” Abu Bakar menjawab : “Demi Allah, itu baik”, Abu Bakar terus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku”.
Maka Zaid Bin Tsabit mulai bekerja mengumpulkan tulisan manuskrip Al-Qur’an dengan sangat teliti dan hati-hati. Zaid Bin Tsabit meneliti hafalan pemilik catatan Al-Qur’an dan mensyaratkan harus ada 2 orang saksi yang menyaksikan bahwa tulisan manuskrip Al-Qur’an itu ditulis dihadapan Rasulullah, padahal Zaid Bin Tsabit sendiri sudah hafal seluruh Al-Qur’an diluar kepala. Dengan kerja keras, teliti dan hati-hati akhirnya seluruh Al-Qur’an berhasil dikumpulkan dalam satu mushaf dengan “tujuh huruf”.
Setelah Abu Bakar wafat, Mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah penggantinya yaitu Umar Bin Khattab. Setelah Khalifah Umar meninggal, Mushaf tersebut disimpan oleh Hafsah Binti Umar.

C. Masa Khalifah Usman Bin Affan ra.
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar dan Umar kaum muslimin telah melakukan penaklukan ke negeri-negeri diluar jazirah Arab seperti, Syam, Iraq, Persia dan Mesir. Pada masa Khalifah Usman penaklukan masih terus berlangsung.
Ketika terjadi perang penaklukan Armenia dan Azerbaijan, diantara mujahidin yang ikut menyerbu itu adalah sahabat nabi Huzaifah Bin Al-Yaman. Beliau melihat banyak perbedaan diantara pasukan kaum muslimin dalam cara-cara membaca Al-Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan, tetapi masing-masing mempertahankan dan bersikukuh berpegang pada bacaannya masing-masing dan bahkan sempat saling berselisih dan saling mengkafirkan.
Riwayat dari Anas, Huzaifah berkata kepada Usman : “Selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (masalah kitab suci) sebagaimana perselisihan orang-orang Yahudi dan Nasrani”.
Atsar dari Abu Qalabah berkata : “Pada masa kekhalifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat kepada seseorang dan guru yang lain juga mengajarkan qiraat yang berbeda kepada anak yang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat ini pada suatu ketika bertemu dan berselisih dan hal itu menjalar juga sampai kepada guru-guru mereka”. Hal itu akhirnya sampai terdengar kepada Khalifah Usman, maka ia berpidato : “Kalian yang ada dihadapanku teah berselisih paham dan salah dalam membaca Al-Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf pedoman) saja !”.
Khalifah Usman kemudian meminjam mushaf yang ada pada Hafsah binti Umar dan memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa’id Bin Ash dan Abdurrahman Bin Haris untuk menyalinnya. Usman berkata kepada ketiga orang Quraisy itu : “Bila kalian berselisih pendapat dengan Zaid Bin Tsabit tentang sesuatu dari Al-Qur’an, maka tulislah dengan logat Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy”. Merekapun bekerja menyalin Mushaf Abu Bakar menjadi beberapa mushaf. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Khalifah Usman mengembalikan mushaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya Khalifah Usman mengirimkan kesetiap wilayah, masing-masing satu mushaf dan memerintahkan agar semua manuskrip Al-Qur’an yang lainnya dibakar.
Ketika penyalinan mushaf telah selesai, Khalifah Usman menulis surat kepada semua penduduk daerah yang isinya : “Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapus apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu”.
Uraian diatas menunjukkan bahwa penyalinan mushaf pada masa Khalifah Usman ditulis dengan “satu huruf” yaitu sesuai dengan dialek Quraisy dan meninggalkan “enam huruf” yang lainnya, hal itu untuk keseragaman dan menghindari perselisihan. Mushaf Usmani inilah yang kemudian dinukil turun temurun secara mutawatir sampai kepada kita sekarang ini.
Tertib Ayat dan Surah
Tertib susunan ayat Al-Qur’an menurut jumhur adalah taufiqi (ketentuan dari Allah) bukan ijtihadi Rasulullah atau para penyusun Mushaf Al Qur’an. As Suyuthi berkata : “Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat-ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya di tempat tersebut. Beliau mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat-ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini,” atau “Letakkanlah ayat ini ditempat anu.”
Mengenai tertib susunan surah, beberapa sahabat nabi ada yang mempunyai mushaf pribadi yang berbeda tertib susunan surahnya dengan tertib surah mushaf Usmani. Mushaf Ali disusun berdasarkan urutan nuzulnya, Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dari surah Al-Baqarah tanpa surah Al-Falaq dan An-Naas. Mushaf Ubay Bin Ka’ab dimulai Al-Fatihah, An-Nisa’ kemudian Ali-‘Imran, namun demikian Mushaf pribadi sebagian sahabat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
Tertib susunan surah yang disepakati dan umat sudah Ijma’ (sepakat) adalah tertib susunan surah mushaf Usman yang dikerjakan secara resmi oleh panitia khusus yang terdiri dari beberapa sahabat nabi pilihan. Tentang tertib susunan surah Al-Qur’an, jumhur ulama mengatakan bahwa tertib susunannya adalah taufiqi.
Al-Kirmani dalam kitab Al-Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti yang kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada Lauhful Mahfud, Al-Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Malakikat Jibril setiap tahun di bulan Ramadhan apa yang telah dikumpulkannya dari Jibril itu. Pada tahun ke wafatannya Nabi membacakannya dihadapan Jibril dua kali.
As-Suyuthi mengatakan tertib susunan surah Al-Qur’an itu taufiqi kecuali surah Al-Anfal dan At-Taubah, berdasarkan riwayat Ibnu Abbas : “Aku bertanya kepada Usman : ‘Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katagori masani dan Bara’ah (At-Taubah) yang termasuk mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmaanirrahim, dan kamu pun meletakaannya pada as-sab’ut tiwal (tujuh surat panjang) ?’, Usman menjawab : ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang yang mempunyai bilangan ayat. Apabila ada ayat turun kepadanya, ia panggil beberapa penulis wahyu dan mengatakan : ‘Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.’ Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di Madinah sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Kisah dalam surah Anfal serupa dengan kisah dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengirabahwa surah Bara’ah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah merupakan bagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmaanirrahim sera aku meletakkan pula pada as-sab’ut tiwal.
Surah-surah dan ayat-ayat Al-Qur’an
1. At-Tiwal : adalah tujuh surat awal yang panjang-panjang yaitu : Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf , ketujuh : Al-Anfal dan At-Taubah sekaligus, sebagian ada yang mengatakan yang ke-tujuh surah Yunus.
2. Al-Mi’un : yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratur atau sekitar itu.
3. Al-Masani : yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah Al-Mi’un. Dinamakan Masani, karena surah itu diulang-ulang bacaannya lebih bnayak dari At-Tiwal dan Al-Mi’un.
4. Al-Mufassal : yaitu surah yang dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujarat. Dinamai Mufassal karena banyaknya pemisahan fasl (pemisahan) dinatara surah-surah tersebut dengan basmallah. Mufassal dibagi menjadi tiga :
a. Mufassal Tiwal : dimulai dari surah Qaf atau hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj.
b. Mufassal Ausat : dimulai dari ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam Yakun.
c. Mufassal qisar : dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan surah terakhir (An-Naas).
Rasm Usmani
Yang dimaksud dengan rasm Usmani adalah bentuk tulisan (khot) Al-Qur’an hasil kerja beberapa sahabat Nabi pilihan dalam suatu panitia penyalin mushaf Al-Qur’an yang diketuai oleh Zaid Bin Tsabit atas penunjukan Khalifah Usman. Mengenai penulisan Al-Qur’an dengan rasm Usmani ini ada beberapa pendapat :
1. Rasm (bentuk tulisan) dalam mushaf Usmani adalah taufiqi yang wajib dipakai dalam penulisan Al-Qur’an. Ini pendapat Ibnul Mubarak dan gurunya Abdul Azis ad-Dabbag.
2. Rasm Usmani bukan taufiqi, tapi cara penulisan yang diterima dan menjadi Ijma’ umat dan wajib menjadi pegangan seluruh umat dan tidak boleh menyalahinya.
3. Rasm Usmani hanyalah istilah dan tatacara. Tidak ada dalil agama yang mewajibkan umat mengikuti satu rasm tertentu dan tidak ada salahnya jika menyalahi bila orang telah mempergunakan rasm tertentu untuk imla dan rasm itu tersiar luas diantara mereka. Ini adalah pendapat Abu Bakar Al-Baqalani.
Jumhur ulama, diantaranya Imam Malik, Imam Ahmad melarang penulisan Al-Qur’an yang menyalahi rasm Usmani.
I’jam (penambahan tanda titik, dll) Rasm Usmani
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca titik dan syakal, karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab yang masih murni, sehingga tidak memerlukan syakal, harokat dan titik. Ketika Islam sudah menyebar keluar jazirah Arab dan bahasa Arab mulai mengalami kerusakan karena banyaknya percampuran dengan bahasa non Arab, maka para penguasa merasa pentingnya ada perbaikan penulisan mushaf dengan syakal, titik, harokat dan lain lain yang dapat membantu pembacaan yang benar. Banyak ulama berpendapat bahwa orang pertama yang melakukan hal ini adalah Abul Aswad Ad-Du’ali, peletak pertama dasar-dasar kaidah bahasa Arab atas petunjuk Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Perbaikan rasm Usmani berjalan secara bertahap. Pada mulanya syakal berupa titik : fathah berupa satu titik diatas awal huruf, dammah berupa satu titik diatas akhir huruf dan kasrah berupa satu titik dibawah awal huruf. Kemudian terjadi perubahan penentuan harakat yang berasal dari huruf dan itulah yang dilakukan oleh Al-Khalil. Perubahan itu adalah fathah adalah dengan tanda sempang diatas huruf, dammah dengan wawu kecil diatas huruf dan tanwin dengan tambahan tanda serupa (double). Alif yang dihilangkan dan diganti, pada tempatnya dituliskan dengan warna merah. Hamzah yang dihilangkan dituliskan berupa hamzah dengan warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin sebelum huruf ba diberi tanda iqlab berwarna merah. Sedang nun dan tanwin sebelum huruf tekak (halaq) diberi tanda sukun dengan warna merah. Nun dan tanwain tidak diberi tanda apa apa ketika idgam dan ikkhfa’. Setiap huruf yang harus dibaca sukun (mati) diberi tanda sukun dan huruf yang di-idgam-kan tidak diberi tanda sukun tetapi huruf sesudahnya diberi tanda syaddah; keculai huruf ta sebelum ta, maka sukun tetap dituliskan.
Para ulama pada mulanya tidak menyukai usaha perbaikan tersebut karena khawatir akan terjadi penambahan dalam Al-Qur’an, berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud : “Bersihkan Al-Qur’an dan jangan dicampuradukkan dengan apapun”. Al-Halimi mengatakan : “Makruh menuliskan perpuluhan, perlimaan, nama-nama surah dan bilangan ayat dalam mushaf” sedangkan pemberian titik diperbolehkan karena titik tidak mempunyai bentuk yang mengacaukan antara yang Al-Qur’an dengan yang bukan Al-Qur’an. Titik merupakan petunjuk atas keadaan sebuah huruf yang dibaca sehingga dibolehkan untuk mempermudah pembacaan.
Kemudian akhirnya itu sampai kepada hukum boleh dan bahkan anjuran. Al Hasan dan Ibnu Sirin keduanya mengatakan : “Tidak ada salahnya memberikan titik pada mushaf”. Rabiah Bin Abi Abdurrahman mengatakan : “Tidak mengapa memberi syakal pada mushaf”. An-Nawawi mengatakan : “Pemberian titik dan pensyakalan mushaf itu dianjurkan (mustahab), karena ia dapat menjaga mushaf daru kesalahan dan penyimpangan (pembacaan)”. Penyempurnaan itu terus berlanjut hingga kini telah mencapai puncaknya dalam bentuk tulisan Arab (Al-Khattul Araby).
Al-Qur’an Dengan Tujuh Huruf
Nash-nash sunah cukup banyak yang mengemukakan hadis mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibnu Abbas : “Rasulullah berkata : ‘Jibril membacakan (Al-Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah dan ia pun menambahnya kepadaku sampai tujuh huruf’”.
Dari Ubay Bin Ka’ab : “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Gafar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf.’ Beliau menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirallah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf.’ Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Kemudian Jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka benar.’”
Hadis-hadis berkenaan dengan Al-Qur’an dengan tujuh huruf sangat banyak. As-Suyuthi menyebutkan bahwa hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat. Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai Al-Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan pendapat tentang pengertian tujuh huruf, diantaranya :
1. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna yang sama, yaitu bahasa suku Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Sebagian memasukkan Asad, Rabi’ah, Sa’d. Pendapat ini maksudnya satu kata boleh dibaca berbeda menurut dialek masing-masing kabilah diatas selama maknanya masih tetap sama.
2. Tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dengan mana Al-Qur’an diturunkan, yaitu : Quraisy, Huzail, Saqif, Hawasin, Kinanah, Tamim dan Yaman. Bedanya dengan yang pendapat pertama adalah bahasa Al-Qur’an mencakup dari tujuh bahasa diatas yang paling fasih dan berterbaran di seluruh Al-Qur’an
3. Tujuh wajah, yaitu : amr (perintah), hanyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita) dan amsal (perumpamaan)
4. Tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yaitu ikhtilaf dalam : asma’ (kata benda), i’rab (harakat akhir kata), tasrif, taqdim (mendahulukan), ibdal (penggantian), penambahan-pengurangan dan lahjah (tebal-tipis, imalah-tidak imalah, idhar dan idgam).
5. Qiraat Tujuh.
Pendapat pertama adalah pendapat yang paling kuat dan banyak diikuti oleh jumhur ulama.
Hikmah Al-Qur’an dengan tujuh huruf :
1. Memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilah mempunyai dialek masing-masing.
2. Bukti kemukjizatan Al-Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasaan orang Arab yang mana seluruh orang Arab pada khususnya ditantang untuk membuat satu surah saja yang seperti Al-Qur’an, ternyata seluruh orang Arab tidak mampu membuatnya.
3. Perbedaan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberi peluang penyimpulan hukum yang berbeda. Para fukaha dalam menyimpulkan hukumdan ijtihad ber hujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.

Turunnya Al-Qur’an

-ibn akhdhar-

Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dengan yang batil” (QS Al-Baqarah [2] : 185).
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Qur’an) pada malam lailatul qodar” (QS Al-Qadr [97] : 1).
“Sesungguhnya Kami menurunkan (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi” (QS Ad-Dukhan [44] : 3)
Ketiga ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadr dalam bulan Ramadhan. Tetapi zahir ayat-ayat ini bertentangan dengan kenyataan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an turun kepada Rasulullah tidak selalu dalam waktu malam dan pada malam lailatul qadr dan tidak selalu pada bulan Ramadhan.
Ada 3 (tiga) pendapat tentang cara turunnya Al-Qur’an :

Pengertian Al-Qur’an

-ibn akhdhar-

Al-Qur’an adalah firman / kalam Allah yang merupakan mukjizat, diturunkan berupa wahyu kepada Rasulullah Muhammad saw. dikumpulkan pada satu mushaf mulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Naas dan dinukil kepada kita secara mutawatir, membaca dan mempelajarinya nya merupakan ibadah yang mendapat pahala.
Nama atau sebutan lain bagi Al-Qur’an :
1. Al-Kitab –buku yang tertulis- disebutkan dalam QS Ad-Dukhan, ayat 2 : “Demi Kitab (Al- Qur’an) yang menjelaskan”
2. Adz-Dzikra –peringatan- disebutkan dalam QS Al-Hijr, ayat 9 : “Sesungguhnya kamilah yang menurunkan adz-Dzikra (Al-Qur’an) dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”.

Sabtu, 27 November 2010

45 Kaidah Tafsir Ibnu Taimiah

-ibn akhdhar-


• Ilmu itu bisa berupa nukilan yang dibenarkan dari Al-Ma’shum dan bisa juga berupa pendapat yang mempunyai dalil yang jelas. Adapun selain dari itu maka kadang dia adalah igauan yang tertolak ataukah sesuatu yang mauquf (tidak jelas), tidak diketahui apakah dia bahraj (kotor) ataukah manqud (bersih).

telah menjelaskan kepada parar• Wajib untuk diketahui bahwa Nabi sahabatnya makna-makna Al-Qur`an sebagaimana beliau telah menjelaskan kepada mereka lafazh-lafazhnya. Ini sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala, “Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (QS. An-Nahl: 44)

Penjelasan di sini mencakup ini (maknanya) dan itu (lafazhnya).

Karenanya perbedaan pendapat di kalangan para sahabat dalam tafsir Al-Qur`an sangat sedikit. Dan perbedaan pendapat ini di kalangan tabi’in -walaupun lebih banyak terjadi jika dibandingkan dengan kalangan sahabat- akan tetapi dia lebih sedikit jika dibandingan perbedaan yang terjadi di kalangan orang-orang setelah mereka (tabi’in).

• Kapan sebuah zaman itu lebih mulia maka persatuan, kesatuan, ilmu, dan penjelasan juga lebih banyak.



PENYARINGAN INFORMASI MENURUT AL-QUR'AN

-IBN AKHDHAR-


Dalam Al-Qur’an Informasi berarti busyro (kabar), kata ini disebutkan kurang lebih dalam 55 ayat dengan berbagai variasinya (nubasysyiruka, mubasysyiri, basysyarnahu), seperti dalam QS. 2;223, 8;10, 22;37, 29;31, 35;25, 43;17, 57;12, 61;13 dan lainnya. Basyira sering disandingkan dengan kata nadzira (peringatan). Kemudian kata naba (berita) yang disebutkan kurang lebih dalam 30 ayat dengan berbagai variasinya (faunabbiukum, anbaahum, anbaaa’a, fayunabbiukum), seperti dalam QS. 3;44, 5;60, 6;5, 11;100, 22;72, 27;22, 38;88, 78;2, dan ayat lainnmya. Berikutnya kata hadits (cerita) seperti dalam QS. 7;185, 64;5, 85;17, dan 88;1. Falanaqushshanna dalam QS. 7;7 juga berarti ‘kabarkan’ yang memiliki kata dasar Qashash yang berarti cerita, yang juga merupakan nama surat ke-28 dalam Al-Qur’an.



Ruang lingkup jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

- IBN AKHDHAR-

Khithobah

Secara etimologis, khuthbah artinya : pidato, nasihat, pesan (taushiyah). Sedangkan menurut terminologi Islam (istilah syara’), khutbah ialah pidato yang disampaikan oleh seorang khatib di depan jama’ah sebelum shalat Jum’at dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun tertentu, baik berupa tadzkiroh (peringatan, penyadaran), mau’idzoh (pembelajaran) maupun taushiyah (nasehat).

Berdasarkan pengertian di atas, maka khutbah adalah pidato normatif, karena selain merupakan bagian dari shalat Jum’at (khutbah diniyah) juga memerlukan persiapan yang lebih matang, penguasaan bahan dan metodologi yang mampu memikat perhatian.

Selain khutbah Jum’at (khutbah ta’siriyah), ada pula khutbah yang dilaksanakan sesudah sholat, yaitu: khutbah ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha, khutbah sholat Gerhana (Kusuf dan Khusuf). Sedangkan khutbah nikah dilaksanakan sebelum akad nikah. Dalam makalah ini yang akan dikaji adalah khusus tentang khutbah Jum’at.



BAGIAN SKRIPSI


-IBN AKHDHAR-


PENGERTIAN:

Latar Belakang Masalah

Identifikasi Masalah

Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Kegunaan Penelitian

Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir

Metode Penelitian


LATAR BELAKANG MASALAH

Adalah pemerian lebih lanjut daqri pengantar dan perumusan masalah. Disii kita menopang penrnyataan-pernyataan sebelumnya dengan menggunakan teknik-teknik pengembngan pokok bahasan : penjelasan, ilustrasi, analogi, kutipan dari orang-orang atau lembaga-lrmbaga yang memiliki otoritas, statistik, dan argumentasi logis yang kita tarik dari pernyataan-pernyataan sebelumnya.

point-point yang sebaiknya ada dalam latar belakang masalah, bisa jadi, hanya dinyatakan sebagai berikut:

  • Latar belakang masalah berupa pengantar mengenai arti penting topik tersebut untuk diteliti, alur berpikir hingga muncul permasalahan, yang diakhiri oleh perumusan masalah yang berbentuk kalimat tanya.
  • Latar belakang masalah menguraikan tentang alasan dan motivasi dari penulis terhadap topik permasalahan yang bersangkutan.
  • Latar belakang masalah adalah perumusan dari masalah dan faedah yang diharapkan dari penulisan skripsi.



PENGENDALIAN SISTEM INFORMASI

-IBN AKHDHAR-

Kegiatan dakwah kini tidak hanya dilakukan oleh perorangan, tetapi juga dengan berjamaah, dengan maraknya organisasi dakwah. Dengan maraknya organisasi dakwah, maka dapat dipastikan bahwa keperluan da’i akan sistem informasi dakwah. Dengan adanya SID, kegiatan dakwah akan lebih terarah dan terukur keberhasilannya.
Melihat gelagat pemakaian teknologi dari ummat, seperti penggunaan telepon sesular, internet (facebook, email, tweeter, blog, web) kegiatan dakwah juga harus mampu memaksilakan media-media tersebut. Para da’i dan aktifis organisasi dakwah harus mampu merencanakan, menjalankan, mengontrol, dan mengevaluasi kegiatan dakwahnya yang berbasis teknologi informasi.
Dengan adanya sistem informasi,

Selasa, 16 November 2010

refleksi tahun berulang

- by fajar ibn akhdhar -

Semilir angin mengurai bulu-bulu di tubuh. Di ujung perjuangan meraih bintang satu dalam pendidikan, tuaku semakin mengemuka. diwarnai bermacam peristiwa alam yang memilukan negeri, aku harus kokoh berdiri menatap hidup yang sebenarnya. Prematur kurasa banyak hal dalam diriku di umur ini. Beragam dosa masih biasa kulakukan, jangan sampai semuanya kuanggap benar. Amal dan bakti masih sangat langka kujalani, dengan alasan kurang motivasi.

Kali ini aku mesti membuktikan diri sebagai pemilik kecerdasan yang memang dikaruniakan Sang Pemilik Hidup bagi para pemimpin bumi. Kecerdasan yang belum teraktivasi apalagi termaksimalkan. Ketika dihadapkan pada situasi sulit seringkali aku salah bersikap. Ketika tak ada seorangpun menatap, kulakukan sesusaku. Dimana kecerdasan itu?

Saat ini adalah saatnya kuhitung diri sebelum tiba saatnya hari perhitungan yang pasti datang menyapa. Kuraba kekurangan diri dengan jujur dan bijak. Kubayangkan siksa kelak yang pasti menghampiri karena kesalahan diri. Alangkah takut hati ini karena tak sanggup memimpin dengan baik. Padahal memang ia tk dibina dengan baik, banyak kesal, benci dan dusta.

Di Waktu ini kuhadapkan diri pada harapan yang indah di masa datang. Semua ingin dan harap itu aku hujamnkan dalam laku dan tindak yang mewarnai hari-hari. Sadari waktu tak akan kembali bermula, kuingin tak lengah selamanya. Degan kualitas diri yang kurasa besar aku ingin meraih semua bahkan selebihnya. Moga Yang Kuasa sepakat dengan apa yang kusuka.

Kini, kuhaturkan pada semua yang mengenalku, ampuni diri yang tak mampu memelihara hubungan ini. Kusadari aku sering lupa diri, menghinakan dan tak acuh pada kalian. Kutundukkan jumawa diri, kutundukkan tinggi hati, kubaringkan angkuh diri dengan harap kalian memberi kesempatan tuk sekian kalinya. Mari kita bersama-sama meraih mimpi yang haqiqi dengan bahagia hati dan ridho Ilahi. (15/11/01)